Selamat menempuh gelar Starata Satu (S1) di kampus
tercinta UIN Jakarta. Dalam menempuh jenjang S1 tak ubahnya seperti menempuh
janjang pendidikan lain. Bahkan, banyak yang mengatakan mendapat gelar sarjana
hanya seremonial bagi orang tua yang telah berhasil melihat anaknya lulus
menjadi tukang insinyur. Namun, menurut data Badan Pusat Statistik per Feruari 2015 ada sekitar 400 ribu jumlah
pengangguran yang mempunyai gelar S1.
Sedikit melihat UIN Jakarta pabrikakademis yang tiap tahunnya mengolah 5.000 produk siap sajidankonsep
McDonalisasi (McD). Pertama dari konsep efisiensi bagaimana cara yang terbaik
mencapai tujuan. Salah satunya dengan mengulurkan sajian melalui jendela untuk
mempertinggi efisiensi dalam mendapatkan makanan. Ada sekitar 5.000 mahasiswa baru yang terus memadati gedung
perkuliahan dan “mengobral” mahasiswa yang sudah lawas agar cepat lulus atau bahkan
dipermudah untuk pindah (kepabrik lainnya).Tak pelak, pendidikan hanya diisi
oleh gedung gedung bertingkat untuk terus menambah barang siap sajinya.
Salah satu caranyadengan menjadikan ruangan jurusan
atau mungkin ruangan lainnya untuk menyelenggarakan sidang skripsi, bukan tidak
adanya ruangan sidang melainkan membeludaknya ruangan yang dipergunakan untuk
sidang skripsi tersebut. Menjadikan jadwal wisuda 4 kali dalam setahun. Dan
tips agar diberikan kemudahan adalah dengan mengikuti saja kehendak pembimbing
untuk mengubah skripsi yang disukainya agar cepat mendapat ijazah. Cepat saji.
Kedua, Predictability
(kemampuan yang dapat diprediksi). Perkuliahan yang hanya 6 tahun dapat di
prediksi sama halnya dengan kemudahan kartu kredit – orang dapat berbelanja
tanpa uang di tangan – yang membuat konsumsi menjadi lebih diprediksi.
Mahasiswa hanya akan disibukkan dengan membuat makalah yang kemudian berorientasi
kepada nilai. Padahal dalam dunia kerja, hal yang dipelajari belum tentu akan
linear dengan apa yang menjadi pekerjaannya tersebut.
Perkulihan 6 tahun tersebut keluaran dari kementrian
lalu bagaimana dengan UIN? Tahun 2010 sistem Student Government (SG) dihapuskan. Diganti dengan sistem Senat.
Gampangnya, dahulu UIN menjadi barometer universitas lain dalam hal
berorganisasi. Hal itu karena seluruh kegiatan dilakukan dari, oleh dan untuk
mahasiswa. Mahasiswa dapat berdikari atas keuangan, pemilihan umum, dan minimal
membuat runtutan acara pada Orientasi Pengenalan Akademik dan Kemahasiswaan
(OPAK). Berbeda dengan sistem Senat yang keuangan bahkan runtutan acara OPAK
dibuatkan oleh Wakil Rektor bahkan Wakil Dekan (Wadek).
Bisa jadi mahasiswa saat ini diprediksi pandir oleh
pemangku kebijkan, hingga hal tersebut dianggap tidak mampu membuatnya dan
mesti dibuatkan. Kemampuan produk tersebut tentu dapat diprediksi akan selalu
pandir.
Di tambah pembatasan ruang gerak, misalnya dengan
adanya jam malam yang tidak memperbolehkan melakukan kegiatan hingga larut
malam.Hal tersebut sama ketika saat proses pembelajaran dibatasi sekitar 3-4
jam perhari. Pembatasan ruang gerak dengan jam malam sudah terbukti dengan
banyaknya mahasiswa yang anomi.
Terakhir cenderung menekankan pada kuantitas, biasanya
lebih menekankan kuantitas ketimbang kualitas. Kapasitas produksi yang sangat
minim tentu keuntungan akan minim pula, maka dari itu harus ada peningkatan
dalam proses produksi. Pembangunan yang di gadang-gadang “master plan” yang
saat ini berlangsung misalnya gedung parkir sementara harus menghancurkan ruang
terbuka hijau (RTH) dan dengan memperluas parkiran tentu akan memperbanyak orang
yang akan dan terus parkir.
Lalu apa yang membuat penekanan dalam kualitas?
Setidaknya saat ini sedang berlangsung dan terus berupaya membuat fakultas baru
yang legal, membuka jurusan-jurusan baru, dan terpenting adalah dengan harapan
UIN Jakarta
yang terus menerus menaikkan
jumlah pemasukan keuangan. Lucu ketika tenaga pengajar yang kurang, ruang
belajar tidak memadai, dan bahkan yang menjadi permasalahan saat OPAK adalah
ketidaktersediaan lahan yang menampung mahasiswa baru dalam pegelaran tahuanan
tersebut namun masih tetap tiap tahunnya menerima jumlah peserta didik yang
sama.
Panggang jauh dari api. Bahkan memanusiakan manusia
menjadi utopis. Pendidikan akan dan ke
mana arah tujuannya hanya berada di tangan pemangku kebijakan (penguasa).
Pendidik menerima dan mengajarkan apa
yang telah diterimanya—walau dengan gaya yang dianutnya baik konservatif atau
tidak—dari penguasa. Saya tahu penguasa sedang membuat atau menciptakan pola
pendidikan untuk memenuhi pasarnya masing-masing.
*Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.