![]() |
(Sumber: Internet) |
Oleh : Zainuddin*
Saat
ini kerusakan hutan semakin meningkat di Indonesia. Ada beberapa hal yang
menyebabkan kerusakan hutan seperti kebakaran. Kebakaran hutan terjadi di berbagai
daerah, seperti Pekanbaru, Riau, Palangka Raya, Kalimantan, dan Papua. Beberapa
kebakaran tersebut diduga ulah pemilik pabrik perkebunan. Namun, hingga saat ini
belum ada upaya serius dari pemerintah untuk mengatasi kerusakan hutan.
Selain
kebakaran, kerusakan hutan juga terjadi akibat illegal loging untuk pertambangan liar dan perluasan pembangunan industri.
Sebagaimana yang dimuat dalam Jurnal Science, Matthew
C. Hansen (2013) peneliti dari University of Mary Land mengatakan, kerusakan hutan
Indonesia setiap tahun mencapai 2 juta hektar. Kerusakan hutan sejak 2001-2013
mencapai angka 15,8 juta hektar.
Laju
deforestasi hutan yang terjadi secara massif dapat memberikan dampak negatif bagi
masyarakat dan lingkungan alam di Indonesia. Kegiatan penebangan dan pembakaran
lahan mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan hidup. Hal itu berdampak kepada
terjadinya bencana alam seperti longsor, banjir, dan kabut asap yang berdampak pada
iritasi mata dan gangguan infeksi saluran pernapasan.
Tak
hanya manusia, kelestarian flora dan fauna di Indonesia juga terancam punah. Hewan
langka makin terancam akibat deforestasi hutan, misalnya lutung jawa, urung merak,
macan tutul, elang jawa, harimau sumatera, dan gajah sumatera.
Sebagaimana
termaktub dalam UUD 1945, Bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Semestinya pemerintah menghentikan proses deforestasi untuk menjaga
alam dan keberagaman hayati. Oleh karena itu kebijakan pemerintah harus sejalan
dengan amanat konstitusi.
Selain
pemerintah, masyarakat juga bertanggung jawab atas semua bencana alam yang
terjadi di Indonesia. Tidak perlu mencari kambing hitam dengan menuduh hujan lebat
dan kemarau panjang yang mengakibatkan bencana.
Merevitalisasi
sikap bersahabat dengan alam patut diwujudkan menjadi paradigma baru. Persahabatan
dengan alam dan lingkungan harus terwujud dengan hubungan yang tidak saling bermusuhan.
Meskipun manusia penerima mandate untuk mengatur alam, tetapi ia bukan pemilik
yang semena-mena memeras sumber daya alam untuk pemuas dahaga
kerakusannya.
*Penulis adalah mahasiswa Aqidah Filsafat, Fakultas Ushulludin UIN Jakarta