Judul : Samin:
Mistisisme Petani di Tengah Pergolakan
Penulis :
Anis Sholeh Ba’asyin dan Muhammad Anis Ba’asyin
Penerbit : Gigih Pustaka
Mandiri
Cetakan : Maret 2014
Tebal : 218
halaman
Pengikut ajaran Samin acap kali menuai tanggapan negatif karena menjunjung
nilai-nilai kearifan lokal. Tanpa kekerasan, mereka menolak kebijakan
pemerintah kolonial Belanda.
Wong Sikep weruh teke dhewe begitulah ungkapan yang dapat menggambarkan pokok
ajaran Samin. Ungkapan dalam bahasa Jawa tersebut bermakna Orang Sikep tahu
miliknya sendiri.Pengertian ini menegaskan Orang Sikep seharusnya saling
menghargai sesama manusia dan mengetahui hak serta kewajiban mereka.
Orang Sikep atau Wong Sikep adalah sebutan bagi pengikut ajaran Samin. Ajaran
yang berkembang di sekitar Jawa Tengah pada 1890 ini dimulai ketika Samin
Surosentiko mengajar ilmu kebatinan. Samin adalah seorang petani kelahiran 1859
di Randublatung, Blora. Tak sedikit orang yang tertarik mengikuti ajarannya.
Beberapa aturan dalam ajaran tersebut mengenai moral dan etika yang harus
diikuti. Misalnya berperilaku sabar, jangan berbohong, mencuri, berzina, jika
dihina tetap diam, tidak meminta uang atau makanan dari siapa pun, serta
membantu satu sama lain. Tanpa disadari ajaran Samin terus menyebar luas dan pengikutnya
meningkat secara signifikan.
Berdasarkan laporan yang dibuat Residen Rembang pada 1903, pengikut Samin
baru mencapai 722 orang. Lalu dua tahun kemudian bertambah pesat,menurut koran Het Nieuws Van Den Dag 29 Agustus 1905
pengikut ajaran Samin telah mencapai 2.600 orang.
Banyaknya pengikut ajaran Samin didorong oleh adanya kebijakan-kebijakan
dari pemerintah kolonial Belanda yang dinilai merugikan rakyat. Sementara itu
ajaran Samin lebih memilih melakukan perlawanan, seperti tidak mengikuti aturan mengenai
pajak, kepemilikan tanah garapan dan
tempat tinggal serta kepemilikan hewan ternak.
Sebelum Blora dan Grobogan menjadi wilayah milik negara (houtvesterijen), rakyat boleh mengambil
kayu dari dalam hutan dengan seizin kepala desa bila ada kebutuhan yang
mendesak. Setelah adanya houtvesterijen
rakyat tak bisa mengambil kayu seenaknya. Menyikapi hal itu, Samin dan
pengikutnya punya sebuah ungkapan tersendiri yakni lemah padha duwe, banyu phada duwe, kayu padha duwe yang berarti
tanah, air dan kayu milik semua orang.
Oleh karena itu, Samin Surosentiko sempat keluar masuk penjara karena kasus
pencurian kayu di hutan. Samin menganggap, hutan memang milik negara, namun
sebenarnya kayu tersebut adalah hak setiap orang yang membutuhkan.
Seiring berjalannya waktu, ajaran Samin menerima respons negatif dari
kalangan masyarakat dan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Mereka menilai Wong
Sikep susah diatur dan berperilaku ngeyel
terhadap aturan dan otoritas
pemerintah.
Pada 1907 Samin beserta enam pengikutnya ditangkap dalam perjalanan
memenuhi undangan Bupati Blora untuk menghadap. Setelah itu Samin serta
pengikutnya ditahan dan dibuang ke luar Jawa. Tujuh tahun kemudian pada 1914
Samin pun meninggal. Meski Samin dikabarkan meninggal,Wong Sikep tetap setia
pada ajarannya. Bentuk perlawanan yang dilakukan oleh Wong Sikep tidak
melibatkan kekerasan fisik, bisa dibilang gerakan tersebut bersifat defensif.
Kekhawatiran akan meluasnya ajaran Samin, membuat pemerintah menggali
informasi lebih jauh mengenai ajaran ini. Peneliti banyak yang kewalahan ketika
mewawancarai Wong Sikep karena permainan kata dan model komunikasi mereka. Wong
Sikep suka memelesetkan atau memberikan arti kata berlapis pada kata yang umum
digunakan. Ini dilakukan sebagai alat pertahanan saat berada dalam tekanan
karena pengikut ajaran Samin dituntut untuk selalu menjaga ajaran mereka.
Maka dari itu beberapa orang cenderung menganggap Wong Sikep buta huruf dan
ajarannya tidak terorganisasi dengan baik. Pemahaman tersebut membuat ajaran
Samin seolah-olah berupa aksi spontan dan dadakan terhadap realitas yang
menekan mereka sebab perubahan kebijakan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Buku Samin menceritakan awal mula ajaran Samin dari waktu pemerintahan
kolonial Belanda hingga pada masa sekarang yang mulai menghilang karena
tergerus arus perkembangan zaman. Sampai saat ini,pengikut
ajaran Samin terus mempertahankan budaya aslidan laku ajaran mereka.
Jeannita Kirana