![]() |
(Sumber: Internet) |
Oleh : Eko Ramdani*
Hujan
menyapa mata yang baru saja terbuka di pagi hari. Udara dingin menyelimuti
tubuh yang baru saja bergerak dari lamanya berdiam dalam sepinya malam. Hidung
menghirup udara sejuk yang dibawa oleh hembusan angin pagi diiringi suara
gemercik tanda air jatuh dari atas.
Matahari
mulai mengeluarkan cahayanya. Menerangi sebagian bumi yang baru saja dirundung
dinginnya angin malam. Cahaya beserta kahangatan mulai menyusup ke sela-sela
rimbunnya pepohonan. Mulai menguapkan air yang baru saja dibawa oleh fenomena
yang dinamakan hujan. Dan, gemercik air hujan pun mulai meredup tanda lelah
dirinya membasahi tanah yang kering setelah kemarau panjang.
Aku
melihatnya dari balik jendela kamar yang menghadap jalanan. Ia berdiri ditepi
jalan beraspal hitam tanpa adanya sedikit lubang dan gelombang. Jalan yang rapi
tidak terlihat sedikit pun genangan, padahal baru saja diguyur air yang jatuh
dari awan. Ia menggendong tas sekolah berwarna coklat. Kerudung hijaunya
bergerak tanda diterpa angin jalan yang membelenggu dirinya.
“Jam
segini sudah mau berangkat?” gumam ku dalam hati.
***
Namanya
Hanna. Seorang perempuan yang tinggal di seberang rumah. Matanya bulat dan
berbola mata kecoklatan. Sudah sejak kecil aku mengenalnya. Tidak begitu kenal,
namun kami saling tau bahwa kami bertetangga.
Dahulu
ia gadis kecil denganlesung di pipinya. Lesung manis yang sering tercipta jika
digoda. Gadis kecil yang sangat periang tingkahnya. Membuat siapa saja yang
melihat pasti gemas dibuatnya.
Hanna
suka bermain di bawah rimbun daun dari pohon yang tumbuh di halaman rumahnya.
Membariskan boneka, menyusun mainan dengan rapinya, hingga bersantai dengan ibu
dan bapaknya ia lakukan di sana. Mereka adalah sebuah keluarga kecil yang
bahagia.
Kiniku
masih mengenal Hanna. Tapi bukan Hanna yang dahulu. Bukan Hanna yang sering
bermain boneka di bawah rindangnya pohon halaman rumah. Bukan juga Hanna yang
sering digoda ibu-ibu tetangga. Namun, kini ku mengenal Hanna yang berbeda.
***
Pagi
itu pun aku bersiap menuju sekolah. Memulai kegiatan seperti biasa. Menempuh
sebuah jalan yang diharapkan dapat membawa ke dalam lubang yang bersinar terang
di masa yang akan datang.Aku mengeluarkan sepeda dari dalam rumah dan mengayuhnya
hingga menuju gerbang sekolah.
Jarak
sekolah dan rumah tidak terlalu jauh, hanya berbeda blok saja. “Dibilang jauh enggak, dibilang deket juga enggak,”
mungkin itu ungkapan yang tepat untuk menggambarkan lokasi sekolah dan rumah.
Aku
kembali melihat Hanna turun dari angkutan yang ia tumpangi.Aku melihatnya di
depan gerbang menuju sekolah. Kerudung hijaunya kembali diterpa angin jalan.
Bergelombang dan semakin menambah kecantikan.Senang rasanya jika melihatnya tersenyum.
Aku
sering menyapanya. Memanggil namanya atau sering ku panggil “tetangga depan
rumah. Saat kecil ia menjawab sapaku dengan kata “apa.” Jawaban dengan nada
anak kecil yang menggemaskan. Beranjak sedikit remaja ku sapanya kembali. Namun
agak sedikit berbeda. “apa sih,” jawabnya jika ku sapa. Dan, kini waktu yang
membawa kami dalam keadaan sekarang.
Keadaan
yang dilewati dengan sebuah proses. Proses yang dilakukan secara terus menerus
dan rutin waktunya. Pendidikan namannya. Ia lah yang merubah kami menjadi
seorang individu yang lebih dewasa. Mejadikan kami individu yang mengerti bahwa
anak kecil dan menuju dewasa adalah sebuah hal yang berbeda. Dan, kini ia hanya
tersenyum dengan lesung di pipinya yang ia beri saat ku sapa.
***
Siang
hari di jam istirahat aku melihatnya. Melihat kebiasaan yang dahulu sering ia
lakukan di halaman rumahnya. Yang berbeda adalah kegiatan yang dilakukannya.
Aku heran, mengapa ia sangat suka di tempat seperti itu. Aku juga heran mengapa
di sekolah ini ada benda yang tumbuh sama persis dengan yang ada di halaman
rumahnya.
Ya,
di sekolah Hanna sangat suka bersantai di bawah pohon. Di bawah pohon yang
hidup di tepian lapangan tempat siswa melakukan kegiatan olahraga. Di bawah
pohon yang disediakan bangku taman untuk siswa yang ingin bersantai seperti
Hanna. Di tempat yang sebenarnya sangat jarang siswa untuk menempatinya.
Yang
menjadikan ku semakin heran, mengapa ia sangat suka dan setiap hari tanpa absen
berada di tempat itu. Di saat jam kosong tidak ada guru atau bahkan saat
istirahat ia selalu di sana. Di saat siswa yang lain sedang asik membelanjakan
uangnya kepada penjual yang ada di kantin. Hanna hanya bersantai sambil di
temani sebuah buku dan es teh manis yang di minumnya jarang-jarang.
“Apa
yang membuatnya nyaman di tempat itu?” gumam ku penasaran
Aku
penasaran. Sering ke memperhatikannya. Bingung sekaligus kagum atas keindahan
yang telah dititipkan tuhan kepada dirinya. Bingung mengapa ia sangat suka di
sana? Apakah ia tidak mempunyai teman? Tetapi di dalam kelas ia sangat akrab
dengan semua temannya.
“Lalu
apa yang membuatnya senang di sana?” ucapku dalm hati yang semikin penasaran.
Selama
dua minggu selalu lebih ku perhatikan dirinya. Setiap waktu aku sempatkan
selalu ada untuk melihatnya dalam diam. Semakin lama semakin penasaran diri ini
melihatnya. Cerah dan bahagia tergambar dari wajahnya. Mengapa ia bisa seperti
itu?
Aku
mengenalnya sejak kecil. Namun, kini kami dibelenggu rasa canggung untuk saling
dekat dan bertegur sapa atau bahkan untuk ngobrol
santai biasa. Entah mengapa semua itu kini tercipta. Mungkin karena sebuah
proses pendewasaan dan mulai saling mengeti perasaan yang membuat kami berdua
seperti ini.
Bingug
aku melihatnya. Ingin rasanya diri ini mendekat dan menanyakan alasan ia tetap
bahagia di bawah teduhnya pohon di tepi lapangan itu. Sering ku memikirkan
alasannya. Namun, semua terbentur kenyataan bahwa ia adalah perempuan normal
yang memiliki mimik wajah ceria. Tetapi, tetap diri ingin sangat ingin
menanyakannya.
***
Di
sebuah siang di hari senin ku kembali melihatnya di bawah pohon di waktu
istirahat. Semakin rasa ini penasaran alasan ia tetap dan selalu bahagia di
bawahnya. “Akan ku tanyakan,” tekat ku dalam hati.
Ku
coba mendekat dari arah depannya. Tidak sadar sepertinya Hanna atas kehadiran
diri ku. Aku terus coba mendekat, mencoba menyapa dengan santai dan seperti
teman pada umumnya. Mencoba kembali akrab seperti saat kecil dahulu.
“Hai
Hann..” tegur ku padanya yang sedang menunduk membaca buku.
“Hai
Dan..” tanggapnya sambil menoleh ke arah ku.
Gugup
dan tidak enak muncul dalam hati ini. Gugup karena memang terasa kaku diri ini
menyapa Hanna. Tidak enak karena memang kami sudah lama tidak bertegur sapa dan
ngobrol berdua.
“Ku
perhatikan, kenapa kamu suka di sini?” pertanyaan initi langsung ku ungkapkan.
Ia
tersenyum. Senyum itu, senyum yang sejak kecil tetap sama manisnya. Lesung yang
tidak beribah. Mata bundar berbola mata kecoklatan. Dan, kerudung hijau, warna
kesukaan ku yang entah mengapa ia juga sangat suka memakainya.
“Entahlah,
aku senang saja di bawah pohon,” ungkapnya sambil tersenyum melihat ke arah
atas rindangnya dedaunan.
“Itu
saja?” tanya ku mencoba kembali akrab seperti dulu.
“Ya
sambil mengingat masa lalu, masa yang sangt indah bagi manusia. Masa di mana
seorang manusia tercipta hanya diperintahkan untuk memikirkan apa yang sedang
ia senang lakukan. Masa di mana kita dapat berlari bebas di bawah batasan dari
orang yang telah melahirkan kita.”
Ia
melanjutkan jawaban atas pertanyaan dari orang yang sudah lama ia tidak saling
cerita panjang. “aku senang, karena pohon adalah sember dari kehidupan. Sumber
di mana makhluk hidup menggantungkan sebuah harapan untuk melanjutkan
kehidupan. Pohon bisa memberikan tempat tinggal bagi makhluk di bumi, bukan hanya
manusia, tetapi juga banyak hewan dan serangga yang menajdikan pohon sebagai
tiang yang menopang kehidupan.”
Hanna
berdiri, ternyata ia tidak berubah, ia adalah Hanna yang dulu. Hanna yang
selalu riang dan mudah akrab kepada orang lain. “aku masih ingat di mana aku
sering bermain boneka di bawah pohon di halaman rumah. Aku juga masih ingin kau
sering ikut bermain di bawahnya. Dan, aku juga akan selalu ingat orangtua ku
menghancurkan benda kehidupan itu.”
Hanna
kembali duduk dengan senyum penuh makna di masa lalu. “aku menangis saat aku
melihat itu. Aku menangisi payung kesayangan ku. Payung yang telah tuhan
ciptakan untuk masa kecil ku yang pernah bahagia. Sejak itu aku kadang terus
sedih melihat bekas akar yang terangkat keluar dari dalam tanah.”
Lanjut
Hanna sambil duduk memegang novel yang ia baca. “Namun, aku senang dan bahagia
karena aku dimasukan kesekolah yang ternyata memiliki tempat yang sangat nyaman
bagi ku. Setiap hari aku selalu menyempatkan berangkat lebih awal. Aku ingin
menyempatkan memulai hari dengan udara sejuk yang dikelurkan dari sela-sela
dedaunan.”
“Jadi
itu jawabannya,” gumam senang ku dalam hati.
Bell
sekolah berbunyi tanda jam pelajaran kembali siap dimulai.
Kami
berpisah. Berpisah di tempat yang sama seperti dahulu kami mempunyai sebuah
kenangan masa kecil. Kini aku mengetahui mengapa pohon sangat berharga baginya.
Karena sumber dari semua kehidupan adalah pohon asalnya.
*Penulis adalah mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi