![]() |
(Sumber: Internet) |
Oleh : Dicky Prastya*
Mentari mulai
menunjukkan dirinya di ufuk timur. Burung-burung pun ikut berkicau di
sekitarku. Singkong rebus dan kopi hitam pekat turut menemaniku dalam suasana
pagi ini.
Suasana kala itu
masih terasa sejuk. Daun-daun mulai berjatuhan di depan halaman rumahku.
Lama-kelamaan, sampah dedaunan memenuhi tanah yang berukuran 10x10 meter ini.
Keadaan itu memancing para ibu-ibu untuk membersihkan dedaunan yang berguguran
di depan rumah. “Srek...srek....” begitulah suara yang mengiringi pagi ini.
Oh iya, aku belum
memperkenalkan namaku ke kalian. Akbar, begitulah panggilan akrabku. Aku adalah
mahasiswa yang kuliah di Universitas Islam terkemuka di Jakarta. Kesibukkan
kuliah di sana membuatku jarang untuk pulang ke rumah. Namun, hari ini sedang
libur. Keadaan ini yang patut aku syukuri dengan cara bersantai di teras rumah.
“Koran....Koran...”
seorang lelaki separuh baya datang ke depan rumah. Ia membawa surat kabar di
tangan kirinya. Senyum lebarnya datang bersamaan dengan barang yang ia sodorkan
ke padaku. Senyumnya pun aku dengan dengan menerima surat kabarnya.
“Terimakasih pak,” begitulah kira-kira ucapan yang ke luar dari mulutku.
Koran pemberian
bapak itu langsung ku buka. Di pojok atasnya, tertulis tanggal 30 September
2015. Sebagai mahasiswa Jurusan Sejarah, aku langsung teringat kejadian masa
lalu. Masa di mana kakek dan nenekku hidup di Indonesia. Ya, 50 tahun lalu
telah terjadi peristiwa penting, yakni Gerakan 30 September 1965.
Aku mulai membaca
sebuah opini yang ada di surat kabar. Memang, peristiwa ini adalah salah satu
kejadian sejarah kelam Indonesia. Selain itu, aku pun teringat dengan beberapa
buku yang terkait peristiwa ini. Tak layak dipungkiri, pembunuhan berdarah saat
G30S masih dipertanyakan siapa
dalangnya.
Selagi aku
mengingat isi buku, lelaki berpakaian kemeja dan celana jeans berjalan menuju ke rumahku. Aku pun memandangi dengan seksama
siapa yang datang. Ternyata, dia adalah Budi, kawan lamaku yang terakhir
kutemui saat wisuda Sekolah Menengah Atas (SMA) dua tahun lalu. Kedatangan ia
kali ini membuatku senang sekali.
“Halo mas bro,” ucapannya pertama kali saat
bertemu denganku. Memang, dari dulu perkataannya selalu tak berubah. “Duduk
dulu lah, kita ngopi ngerokok kaya
waktu SMA,” jawabku. Ia pun ikut duduk dan langsung menyantap singkong rebus
yang ada di piring. Sembari mengunyah makanan, Budi juga melihat surat kabar
yang sedari tadi aku baca.
“Wih, bacaannya “kiri” nih sekarang?”
“Liat dulu sekarang tanggal berapa bro....”
“Ohiya, peringatan
sejarah G30S,”
Kami pun tertawa,
sama seperti waktu sekolah dulu. Sambil menyeruput kopi, aku dan Budi
melanjutkan pembicaraan terkait peristiwa ini. Maklum saja, kami sama-sama
mahasiswa yang menekuni Sejarah. Bedanya, ia tidak satu kampus denganku.
Ia pun membuka
pembicaraan. “Gua punya temen bro, kakek neneknya orang Partai Komunis
Indonesia (PKI). Hidupnya menderita sampai sekarang,” ujarnya sembari
menyalakan rokok. “Gausah heran bro, semua yang berhubungan sama PKI
hidupnya gak akan tentram,” balasku.
Ia melanjutkan
ceritanya. “Lu tau gak? Temen gua hidunya susah. Jangankan punya uang,
makan aja belum tentu bisa,” ucapnya dengan serius. “Wih segitunya, kenapa bisa
begitu?”. “Sampai saat ini, orangtuanya tidak punya pekerjaan tetap, cuma
serabutan.”
“Tak hanya itu,
Kartu Tanda Penduduk (KTP) orangtuanya sudah ditandai sebagai mantan PKI, faktor
itu yang membuat mereka tidak punya pekerjaan sampai sekarang,” tambahnya lagi.
Aku hanya bisa mengelus dada.
Setelah mendengar
cerita Budi, aku pun setuju dengan ucapannya. Di rumahku, banyak orang-orang
yang dulunya dituduh sebagai pendukung PKI. Kebanyakan, mereka tidak memiliki
pekerjaan. Memang, sebagian dari mereka masih bisa bekerja untuk menghidupi
keluarganya, tapi tentu saja itu pekerjaan yang sementara. Bisa dibilang,
pekerjaan mereka tidak layak untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Di saat yang sama,
ayahku ke luar dari pintu rumah. Ia lalu ikut gabung dengan kami. Sembari
mengambil singkong kesukaannya, ia juga turut bercerita. “Itu benar nak,
tetangga ayah banyak yang pengangguran karena dituduh PKI. Padahal, itu sudah
berlalu. Namun sampai saat ini, keturunan dari mereka banyak yang terkena dampak
dari kebijakan sang jendral senyum itu”.
Sambil meminum
kopinya, ayahku kembali bercerita. “Padahal, apa salah orang-orang partai itu?
Jika ditelusuri kembali tujuannya, mereka hanya meminta keadilan. Orang-orang
yang terdiri dari para buruh dan petani tersebut hanya meminta kesetaraan di
mata pemerintah. Apa salah mereka?” tuturnya.
“Kalau dilihat
dampak dari peristiwa G30S itu, kan kasihan keturunan mereka. Anak-anak
partisipan PKI juga turut mendapat kesusahan seperti orangtuanya. Tak
seharusnya mereka mendapat perlakuan yang sama dari kebijakan pemerintah, kan
kasihan jadinya,” ungkap ayahku.
“Kalian sebagai
mahasiswa sejarah harus tau dengan keadaan ini, ajak seluruh teman-teman kalian
untuk tau. Bila perlu, ajak mereka untuk mengungkap peristiwa sejarah ini,”
ucap ayahku sambil menyalakan rokok kreteknya.
Tapi yah,
pemerintah sudah menggagas kebijakan untuk mencabut ketetepan presiden
(Keppres) tahun 66 itu kok. Presiden Abdurrahman Wahid juga sudah minta maaf
kepada para mantan partisipan PKI yah, sudah ada kemajuan,” ujarku.
Ayah mengangguk
dan menyeruput kopinya yang pahit. “Ada aksi adapula reaksi. Apakah semua
masyarakat sudah setuju dengan kebijakan itu? Apakah mereka menanggapi dengan
positif kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) lalu? Tidak nak, ini bahkan
dijadikan kontroversi dari haters
Jokowi,” ungkapnya. Kami berdua pun mengangguk setuju.
Memang sudah tak
asing lagi, apapun kebijakan Presiden Jokowi selalu dijadikan pembahasan yang
ramai diperbincangkan. Padahal, kebijakan ini perlu untuk dikaji lebih
mendalam. Dampaknya juga cukup besar, selain mengenal sejarah, masyarakat juga
tahu apa kesulitan dari mantan partisipan PKI ini.
Percakapan yang
berlangsung seharian ini membuat kami semua termenung. Ayah sibuk membaca koran
yang tadi dibawa oleh lelaki paruh baya itu. Aku dan Budi hanya melihat awan di
langit. Semua pandangan berpaling ketika ibu membawa sarapan berupa nasi uduk.
“Tunda dulu ya
diskusinya, kita sarapan dulu. Pemikir juga butuh makan, betul toh?
Kami pun tertawa.
*Penulis adalah mahasiswa Sejarah dan Kebudayaan Islam, Fakultas Adab dan Humaniora