![]() |
(sumber : Internet) |
Oleh : Kholis Bidayati*
Matahari
merekah menantang gerah pada setiap insan yang sedang bergairah dan amat
bernafsu mencari nafkah dari tanah.
“Aduh.. aduh.. sialan! Dasar semut tidak tahu
diuntung, sudah enak diberi tempat untuk makan masih saja menggigit kaki tuan yang punya lahan,” ujar laki-laki
kekar hitam. Ia marah kepada semut merah yang tak pernah mendengar umpatannya.
Di sisi lain
seorang anak kecil yang bertahan di bawah pohon pisang mencoba berkawan dengan
panas. Anak kecil sang tuan yang punya lahan itu mencoba berbincang pada semut
yang menata barisan di sela-sela tanaman sayur kangkung sang tuan.
“Hai
nak..sedang apa kau di pinggiran pematang sawah? Kesinilah bantu bapakmu ini
membinasakan serangga yang terus-terusan menggerogoti akar tanaman kita yang
hampir mati ini,”. Anak kecil itu tidak menggubris. Sang laki-laki pemilik
lahan mengerucutkan bibirnya. Ia berjalan cepat menuju anaknya yang hitam dan
belang.
”Hei...
sedang apa kau ini?”, sambil menarik baju anaknya yang kumal.
”Lihatlah
Pak semut-semut ini, mereka cantik sekali,” ujar sang anak sambil tersenyum ke
arah bapaknya menunjukkan giginya yang hitam.
“Matamu buta
ya Nak? Semut-semut ini bisa membuat badanmu gatal-gatal dan merah jika kau di
gigit olehnya Nak!”
“Aahcch,,, bapak rupanya tidak mengerti,
lihatlah mereka sedang berbaris mengantre memasuki lubang rumah mereka, indah
sekali” sanggah sang anak.
“Iya.. dan
kau tidak berfikir arah liang itu menuju akar tanaman kangkung kita, setelah
itu mereka akan merusaknya, lalu matilah kangkung-kangkung kita ini, lalu kau
tau nak..matilah pula kau dan bapakmu ini karena tak punya uang, dan kau tau
sebabnya apa nak? Karena kita gagal panen, dan kau tahu kenapa? Ya karena ulah
semut-semut ini”.
“Aahcch bapak,
andaikan saja Pak, orang-orang mau mengantre sembako di kelurahan seperti
semut-semut ini, mungkin emak tak akan mati diinjak-injak orang hanya karena
beras sepuluh kilo, dan andai saja orang-orang mau mengantre pupuk seperti
semut-semut ini dengan rapi, mungkin kitalah salah satu orang yang dapat pupuk
itu pak, dan kita tidak perlu repot-repot mengumpulkan abu layan yang bapak
siram dengan air kencing bapak dan air kencingku setiap malam untuk menyuburkan
tanaman-tanaman di ladang kita,” tukas anak kecil itu menasihati bapaknya yang
mulai merah padam mendengar ocehannya.
”Sudah diam
kau, pulanglah sana, mandi dan ganti bajumu itu!” Perintah sang bapak yang
tentu saja tidak bisa dibantah.
Anak laki-laki kecil itu kemudian pulang dengan
wajah keheranan sesekali menoleh memandangi wajah bapaknya yang merah berapi
menahan kesal.
Matahari
perlahan mulai tenggelam dan senja pun mulai datang, laki-laki yang sebal
dengan semut-semut itu pulang sambil membawa ubi dari ladang.
“Pak kau
sudah pulang”, teriak anak mata wayangnya sambil berlari menuju bapaknya
tersayang.
“Hei... kau
belum mandi rupanya, apa saja yang kau lakukan seharian sehingga belum mandi
sampai pukul segini?”.
“Maafkan aku
Pak.. aku sedang malas mandi, sepulang dari sawah tadi tetangga sebelah memberi
kita makanan pak, jadi ku putuskan saja menunggu bapak supaya bisa makan bersama,” celoteh si anak sambil
senyum-senyum kegirangan.
“Lalu kau
taruh mana makanan itu dan kau beri tutup tidak?”, tanya sang bapak sambil lari
tergopoh-gopoh masuk rumah. Sesampai di dalam rumah tiba-tiba semua diam
melihat kenyataan yang mereka dapatkan.
”Semut
sialan.. bedebah! Tak tau kalian semua rupanya, aku dan anakku sedang
kelaparan, giliran ada makanan kau ikut embat juga, lihatlah nak perilaku semut yang kau bilang cantik itu!,
hari ini kita tak bisa makan makanan itu karena ulah mereka,” kata sang bapak seraya menuju sekepal nasi dan ikan
asin yang berjajar dengan sambal dari trasi”. ”Sudahlah Pak...ini masih bisa
dibersihkan dan kita tetap bia memakannya”, tutur lembut sang anak menenenangkan
bapaknya.
“Terserah
kau saja, makan saja kalau kau masih doyan, aku akan memasak ubi ini untuk aku
makan sendiri”. Sang bapak pun pergi meninggalkan sang anak semata wayangnya
xang sedang membersihkan semut di kepalan nasi ikan asin.
Krik... krik...
krik... suara jangkrik malam beradu memainkan musik untuk sang bulan. Tiba-tiba
sang bapak melihat gerangan apa yang sedang berani-beraninya merayap di atas
bahunya yang kekar. Terlihat dua ekor
semut yang sedang merayap tertatih-tatih yang membawa remahan roti.
Hampir si pak tua setengah baya itu mengibaskan tangan hendak mengusir si kecil
ciptaan tuhan yang sedang berjuang membawa makanan.
Namun sang
anak datang seraya berteriak pada sang bapak, ”Pak,, pak,, tunggu! Rupanya kau
tak sadar lagi dengan sebuah keajaiban
yang sedang Tuhan tunjukkan”.
“Bicara apa
kau ini, pergilah saja tidur! Hari sudah malam”.
“Seandainya
saja orang-orang yang lebih beruntung mau melihat kehidupan kita dan mau
mengulurkan tangannya sedikit saja memberikan sebagian hak kita yang tercampur
di harta mereka, mungkin saat ini kita bisa tidur nyenyak dengan perut kenyang
tanpa bingung memikirkan apa yang harus kita makan besok “, kata sang anak
memedulikan perintah bapaknya.
“Aah.. kita
tidak butuh uluran tangan mereka, para tikus berdasi dan para pejabat-pejabat
berbulu domba itu terlalu egois untuk
memikirkan rakyat kecil seperti kita", Ucap si bapak menggebu-gebu. Si
kecil hanya mampu tersenyum bangga mendengar perkataan bapaknya itu meskipun
dia agak bingung dengan maksud sang bapak.
Bapak
berotot kekar itu menolehkan wajahnya ke buah hatinya, ” Maafkan bapakmu ini
nak.. tak bisa menyekolahkanmu setinggi bulan seperti orang-orang besar itu,
maafkan bapak yang tak sedikitpun meninggalkan ilmu untukmu”, kata-kata pak
hitam itu membuat si anak menangis terharu.
”Sudahlah
pak.. aku bangga punya bapak sepertimu, kau lebih mulia ketimbang para pejabat
pemakan uang rakyat itu dan tubuh hitammu ini lebih suci ketimbang kulit putih mereka yang kotor berlumur dosa pak, dan kau tau pak, aku
lebih bangga melihat bapakku memegang cangkul
tapi berlaku adil dan bijak dari pada berdasi tapi selalu menyedot
uang-uang pajak”, Kata sang anak. Si bapak dan anaknya itu saling berpelukan
menangis merasakan kebanggaan meski hidup di dera berbagai kekurangan.
”Kenapa kau
tiba-tiba berubah jadi seperti ini, apa yang membuatmu berfikiran sedewasa ini
anakku? “, tanya sang bapak seraya melepaskan pelukan hangat mereka yang
disaksikan malaikat-malaikat cinta dari surga. Si anak belang itu nyengir sambil melihat bapaknya yang baru saja
menangis . “Kau tau orang gila di depan prapatan pak, lihatlah dia memberiku
buku ini”, Seraya sang anak menunjukkan sebuah buku kusam bersampul hijau dengan judul “DongengPara Semut”.
“Kau bisa
baca buku?” , tanya sang bapak tak percaya. “Iya pak, sedikit- sedikit dalam
seminggu aku bisa menkhatamkan dua halaman”, jawab si anak. Siapa yang
mengajarimu membaca buku nak..? “, tanya sang bapak keheranan. “Kau ingat pak,
tiap hari engkau memarahiku karena setiap pagi aku menghilang dan tak mau ikut
denganmu keladang dan kau fikir aku keluyuran, sebenarnya tidak pak... “ ,
jawab sang anak. “ Lantas apa yang kau lakukan?”. Tanya si bapak keheranan
kembali. ”Aku pergi kesekolah SD desa sebelah pak mengintip guru yang sedang
mengajar dari balik cendela supaya bapak tak repot mencarikan aku uang untuk
biaya sekolah”, ucap sang anak menggebu-gebu bangga terhadap dirinya sendiri. “
Maafkan aku nak..maafkan bapakmu ini, bapak malu nak...”. Rintih si bapak. “
Sudahlah pak .. sudah ku bilang aku bangga punya bapak sepertimu”, si anak
menyahut. Mereka kembali berpelukan.
“Maukah kau
membacakan buku ini untuk bapak?”, pinta si bapak. “Baiklah mari kita masuk,
aku akan mendongengi bapak seperti emak dulu yang selalu mendongengiku sebelum
tidur. Sedang di bawah pintu, tampak segerombolan semut yang memerhatikan
tingkah bapak dan anak tersebut.
*Penulis adalah mahasiswa Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum