![]() |
Sumber: Internet |
Oleh: Fikri Bermaki*
Sepuluh orang dalam satu
perkumpulan adalah hitungan yang tidak bisa dibilang sedikit. Aku sengaja
membiarkan telepon genggamku tergeletak
di atas meja yang penuh dengan aneka makanan supaya aku dapat berinteraksi
dengan kawan-kawanku, tapi mereka lebih asyik dengan orang yang jaraknya lebih
jauh daripada kami yang hanya berjarak satu jengkal.
Aku lirik kanan, temanku berambut
keriting asyik dengan media sosial facebook sambil menulis di statusnya:
“Asyik, akhirnya bisa kumpul lagi setelah liburan panjang kuliah
@kedaikopiabah”. Lalu temannya ada yang komentar: “Ciye Rudi asiknya yang kumpul bareng-bareng lagi,”
kemudian dibalas oleh Rudi: “Iya dongs”, dan terus mereka balas-balasan sampai
saya bosan menunggu jedanya. Tunggu dulu tadi dia bilang kumpul? Aku sangat
kecewa dia bisa menulis seperti itu karena dari sejam yang lalu aku hanya
melihat dia asyik dengan telepon genggamnya tanpa basa-basi dengan kami yang
lebih dekat.
Di depanku, temanku yang
paling cantik, karena dia seorang yang mengenakan kerudung. Bagiku perempuan
yang berkerudung akan lebih anggun dibanding perempuan yang tidak berkerudung.
Tapi bukan hanya kerudung yang menjadi tolok ukur melainkan sikap dan
perbuatan. Mitha namanya, sangat murah tersenyum dan yang paling penting adalah
akhlaknya baik nan santun. Tapi, sayang sekali Whatsapp membawanya menjadi
orang pikun. Pikun bahwa dia sedang berada dalam satu perkumpulan yang
sebetulnya sudah diidam-idamkan sejak libur.
Aku kesal mereka
mengabaikan begitu saja perkumpulan ini. Aku sempat mengajak ngobrol Dodi, tapi
dia bilang “tunggu sebentar, ki. Lagi BBM-an
nih”.
Aku pun memesan makanan kembali dan memanggil
pelayan. Tak lama kemudian datanglah kentang goreng pesananku. Aku pun asyik
makan kentang goreng pesananku, tiba-tiba tangan Adi dari arah yang jauh
menyambar kentang gorengku, lalu aku lirik ke arahnya ternyata ia sedang
menikmati dunia yang lainnya.
Tidak biasanya Adi
seperti ini, biasanya dalam kumpul seperti ini ia selalu menjadi orang yang
paling ramai di antara
kami. Tapi kini, dia hanya tertawa sendiri melihat telepon genggamnya, entah
apa yang dilihat dan dibacanya. Aku hanya melihatnya tertawa, hanya itu.
Tak terasa satu setengah
jam sudah terlewati begitu saja tanpa obrolan dan tanpa papasan dalam perkumpulan.
Aku merasa sendirian meski orang lain melihat kami berkawanan. Facebook,
twitter, whatsapp, BBM dan jejaring sosial lainnya menenggelamkan mereka pada
dunia yang baru dikenal olehnya.
Waktu pun semakin larut,
orang-orang mulai meninggalkan kedai, tinggal kami sepuluh orang dalam satu
meja.Aku merasa asing dengan
temanku sendiri. Kekecewaanku semakin menderu kala Ica mengajak kami untuk foto
bareng. Kami semua berpose dengan gaya masing-masing. Selepas itu kembali
mereka sibuk dengan telepon gengamnya tanpa mau melihat hasil fotonya terlebih
dahulu. Dan mereka malah lebih suka meminta foto untuk dikirim ke jejaring
sosialnya.
“Ca, fotonya masukin ke
Path aja ya”, kata Yogi.
“Ke Whatsapp aku juga ya cantik”, kata Mitha
dan mendapat anggukan dari yang lain.
“Aku mah semuanya aja ca, kirim ke semua
jejaring sosial aku ya”, kata Adi yang setelah itu disuraki oleh teman yang
lainnya.
“Iya tenang aja. Kau
tidak ingin dikirim ke facebookmu, Riki? Atau ke jejaring sosialmu yang lain?”,
tanya Ica.
“Tidak, ca. Aku mungkin
akan lebih suka kita berbincang dibanding kita harus mengabadikan moment yang
tak indah ini!”, akhirnya aku dapat mengatakannya dengan lantang.
“Maksudmu apa Riki?”,
tanya Mitha dengan herannya.
“Kumpul seperti ini
sebetulnya yang kita idam-idamkan bukan? Dua bulan kita libur, tak pernah kita
tatap muka. Tapi setelah kita bertemu, kalian hanya memainkan handphone kalian
saja tanpa ada obrolan satu sama lain!”
Perlahan semua temanku
menatapku dengan seksama, sebagian ada yang menundukan kepala sambil menaruh
telepon genggamnya di meja.
“Aku sengaja menaruh
handphoneku di atas meja, supaya aku dapat berbincang dan menikmati waktu
bersama kalian. Tapi kalian malah lebih asyik dengan jejaring sosial yang
kalian miliki. Aku juga punya, tapi aku tidak terlena. Akan ada waktunya kok.
Sekarang kita lagi kumpul. Lagi kumpul!”
Adi yang tadinya
mendengarkanku bicara sambil memainkan telepon genggamnya pun kini menaruh teleponnya
di atas meja. Lalu diikuti oleh teman yang lainnya. Bahkan Mitha pun mematikan
daya telepon genggamnya.
“Mungkin orang lain
melihat kita sedang kumpul dengan jumlah yang cukup banyak, tapi mereka tidak
tahu apa yang kita bicarakan. Bukan hanya mereka yang tidak tahu, kalian juga
tak tahu kan apa yang daritadi kita perbincangkan?”
“Jelas kalian tidak tahu
apa yang kita bincangkan, karena kalian hanya asyik dengan facebook, twitter,
dan media sosial lainnya. Manusia yang
jaraknya jauh kalian sambangi dengan handphone yang kalian punya, sementara
kita yang sedaritadi duduk dalam satu meja tak ada yang berbicara sepatah kata
pun. Aku ingin memulai obrolan, tapi satu di antara
kalian ada yang masih asyik BBM pacarnya.”
Dodi menundukkan kepala
karena dia tahu itu adalah perbuatannya tadi.“Bukan hal yang sering, tapi
jarang. Kumpul seperti ini jarang kita dapatkan lagi. Apalagi orangnya pas ada
sepuluh, biasanya ada saja yang tidak hadir. Tapi karena hanphone yang kalian
milikilah seakan kita mempunyai sekat dinding walau kita duduk berdekatan”
“Ini kesempatan kita kumpul. Ini
sahabat-sahabat kalian. Melebihi pacar kasih sayangnya. Jangan kalian diamkan.
Manusia yang di handphone kalian adalah manusia yang jaraknya jauh dari
pandangan. Pandangilah kita yang dekatnya satu meja. Pandangi dan ajak
bicara!”, tegasku.
“Kalau tujuan kalian
berkumpul hanya ingin mendapatkan foto-foto, lebih baik cari tempat rekreasi
atau tempat wisata yang indah. Bagiku foto adalah bonus dari kesempatan kita
berkumpul.”
Ica pun menundukkan kepalanya
tanpa melihat aku, entah dengar atau tidak, yang jelas ia merasa bersalah. “Sudah satu setengah jam lebih aku
menunggu kalian untuk berhenti sejenak memainkan handphone. Tapi nyatanya
kalian malah lebih asyik. Baiklah, sepertinya menonton TV di rumah atau mungkin
membaca buku akan lebih asyik dibanding harus menonton kalian tertawa dengan
handphone kalian masing-masing”, aku pun pamit.
Semua diam dan hanya
mengangguk saat aku pamit kepada mereka.
“Hati-hati, Riki.
Terimakasih atas malamnya kali ini”, hanya Mitha yang berujar kepadaku, tapi
kali ini tidak dengan senyum khasnya mungkin ia tertegun mendengar kata-kataku
tadi.
*Penulis adalah mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.