Karya
seni merupakan media untuk menyampaikan keindahan. Melalui seni rupa, pameran
125.660 Spesimen Sejarah Alam menyajikan sebuah penelitian ilmiah.
Seorang
pria menggoreskan kuas di atas kain putih berukuran 120cm x120cm. Ia torehkan
tinta hitam untuk melukis pulau-pulau di Indonesia, dari Sumatera hingga Papua.
Gerakan jemarinya kemudian membuat garis melengkung yang melintang di antara
Kalimantan dan Sulawesi.
Pria
itu melukis peta persebaran hayati di Indonesia serta menandai titik hutan
tropis di Pulau Jawa dan Kalimantan. Proses melukis tersebut terekam dalam
video berdurasi 6.25 menit yang dipamerkan di Galeri Lantai 2 Salihara. Lukisan
The Frids Hutabarat dalam video tersebut menggambarkan keanekaragaman hayati
yang ditemukan Alfred Russel Wallace sejak 1823 hingga 1913 di Nusantara.
Di
sisi kanan proyeksi video, terlihat paruh runcing seekor burung dan sepasang
kaki kecilnya. Kerangka burung yang berusia lebih dari 100 tahun itu nampak
bertumpuk tercetak di atas kertas berukuran 90x60 cm. Burung tersebut adalah jenis
Kakaktua (Plyctolophus) yang
ditemukan di Lombok pada November 1894.
Sedangkan
pada sudut lain ruangan, kodok hitam dengan empat kaki berselaput mengambang
dalam tabung berdiameter 15cm dan panjang 30cm. Berbeda dengan kodok biasanya,
reptil bernama kodok pohon besar ini memiliki selaput amat lebar sehingga ia
dapat terbang dari satu pohon ke pohon lain. Kodok terbang ditemukan pertama
kali pada 1860 di Borneo. Kini, jenis kodok pohon besar ini tak dapat ditemukan
lagi.
Wallace
pun menggambarkan perubahan setiap spesies tersebut yang tercetak pada kertas
berwarna coklat kekuningan. “Perubahan spesies merupakan sebuah proses yang
lambat. Kita semua setuju akan hal itu, walaupun berbeda pendapat tentang bagaimana
proses tersebut terjadi,” ungkap Wallace dalam kertas itu.
Dua
ekor cendrawasih (Paradisaea apoda)
juga tak kalah menarik perhatian pengunjung. Dalam kubus yang terbuat dari kaca
bening, kedua burung cendrawasih itu bertengger di sebuah ranting. Sayapnya
yang berwarna kuning kecoklatan membentang dari sebelah kiri hingga kanan kubus.
Jenis burung cendrawasih kuning besar ini ditemukan hanya di Papua.
Selain
itu, ratusan miniatur kupu-kupu menempel pada sebuah kain putih yang
digantungkan di tengah ruangan. Warna merah, kuning, biru dan hijau dari
kupu-kupu tersebut terlihat mencolok di atas kain putih. Beberapa kupu-kupu
yang paling besar dengan sayap berwarna-warni merupakan jenis Ornithoptera croesus yang ditemukan di
Ambon.
Di
sisi kanan miniatur kupu-kupu, empat orang yang membawa tombak tengah
menyelamatkan diri dari serangan orang utan (Pongo) yang menggigit salah satu dari mereka. Penyerangan orang
utan tersebut tercetak dalam foto berukuran 30 cm x 30 cm.Tak
hanya foto, kulit orang utan dengan bulunya
yang coklat pun terbaring di atas meja sepanjang 2 meter dan lebar 60cm. Lengkap dengan tengkorak yang juga tergeletak
di sebelahnya.
Pameran
125.660 spesimen sejarah alam ini memperlihatkan ekologi Indonesia pada
tahun 1823-1913. Pameran ini melibatkan 23
seniman dan ilmuan dari Indonesia dan mancanegara.
Dalam pameran spesimen, para seniman dan ilmuan menelusuri penemuan Wallace
serta mendokumentasikan dalam bentuk karya seni.
Asisten
kurator, Bima Asya mengatakan, pameran yang digelar dari 15 Agustus-15
September ini menggabungkan dunia seni dan ilmu pengetahuan. “Kami ingin menyampaikan suatu permasalahan dari
penelitian dan pengolahan data melalui karya seni,” tutur Bima, Minggu (6/9).
Dengan
adanya pameran spesimen bersejarah ini Bima berharap, masyarakat Indonesia dapat
menjaga ekosistem. “Apabila salah satu spesies hilang dari suatu ekosistem
dapat merusak spesies lainnya, bahkan manusia itu sendiri,” ungkapnya.
Salah
satu pengunjung asal Depok, Salfia Rahmawati mengungkapkan, pameran ini
merupakan hal baru baginya, ia dapat menikmati seni dan juga ilmu pengetahuan
sekaligus. “Banyak spesimen alam yang dijadikan lukisan, miniatur, puzzle dan masih banyak lagi di pameran
ini,” katanya.
Senada
dengan Selfia, Puan Dinar, seorang ibu dengan dua anak ini juga menikmati
pameran terrsebut. “Kebetulan saya mengajak anak saya, dan mereka menjadi lebih
mudah belajar mengenai hewan dan habitatnya di sini,” tutur Puan, Minggu(6/9).
Namun
Puan menyayangkan beberapa hal dari pameran yang merujuk pada jejak Wallace ini.
Menurutnya, ada beberapa karya seni yang penjelasannya kurang lengkap. “Banyak
foto kupu-kupu, namun tidak ada nama dan penjelasan spesifik mengenai jenisnya,”
pungkasnya.
Ika Puspitasari