Empat
belas anak lak-laki memasuki gelanggang malam itu, Minggu (26/7). Pemuda-pemuda tersebut langsung membuat barisan rapi dan duduk
bersila di hadapan penonton. Penari indang mengenakan pakaian adat Minangkabau
berupa baju gadang bewarna kuning cerah dihiasi
benang emas dan sarawa gombang,
celana yang melebar di bagian kaki. Para pemuda itu merupakan penari indang yang diundang
untuk mengisi alek gadang (pesta besar).
Kemudian datanglah lelaki paruh baya mengenakan baju
bewarna hitam dilengkapi dengan Deta, yaitu penutup kepala khas Minangkabau. Ia mengambil posisi di tengah empat belas pemuda tadi. Lelaki yang disebut Tukang
Aliah ini akan
berbalas syair dengan tuan rumah pelaksana alek
gadang.
Sementara itu tuan rumah diwakili oleh Katik. Katik adalah seorang
tokoh pemuka adat di daerah
Minang. Dalam pertunjukkan indang, Katik melantunkan syair secara
spontan tanpa ada pembuatan naskah terlebih dahulu. Sehabis Tukang Aliah memberikan aba-aba, empat belas pemuda penari indang masing-masing mengambil sebuah rebana kecil terbuat dari kulit
kambing yang disebut rapa’i.
Terdengar musik Melayu Minang
begitu rapa’i dipukul dengan cepat secara serempak. Penari indang pun melakukan
tarian dengan memegang dan memukul rapa’i serta meletakkannya ke bawah sambil
mengayunkan ke kiri dan ke kanan. Tiba-tiba
terdengar kembali aba-aba yang membuat penari indang menghentikan tarian.
Seketika suasana menjadi hening, Katik pun bersyair “Ikolah kini iyo
baiak diulang baliak katonyo indang dimulai dek Tandikek. Waden sapandapek nan
tigo jerong. Parik pamutuih urang darek kiniko, Katik paliek indaglah puncek
elok lah pulo oi diulang baliak (sekarang ini, baiknya diulang lagi katanya
indang yang dimulai oleh orang tandikek, saya sependapat dari tiga jerong. Parit
pemutus dari orang darat, Katik melihat indang sudah berapa, baiknya diulang
lagi).
Setelah
Katik selesai mengucapkan syair terakhir, penari indang melanjutkan
tarian dengan gerakan yang sama seperti sebelumnya. Saat tarian berhenti, syair kemudian dibalas Tukang Aliah dari penari indang yang
didatangkan oleh tuan rumah. Bialah
baserak bana lah tabang padi, bia sabodong oi pulang pagi, paik putuih e imbo
rang darek lai sabodong pulang baliak. Antaro kito duduak nan sasandiang, bia
baserak nan buruang tabang pagi, untuang sabodong pulang patang (biar berserakan padi, biar sama-sama kita oi pulang pagi, pahit
putusan rimba orang darat, sama-sama pulang lagi, sama-sama kembali ketika
petang).
Setelah itu, empat belas pemuda penari indang melakukan gerakan menunduk dengan telapak tangan kiri
menyentuh tanah. Rapa’i yang berada di tangan kanan diangkat ke atas. Kemudian Penari indang menirukan
kembali bait terakhir pada syair secara bersama-sama. Setelah menyelesaikan bait tersebut, penari indang menepuk rapa’i satu kali serta meletakkannya ke bawah lalu mengayunkan ke kiri dan ke kanan dan memukul rapa’i dengan cepat.
Katik
membalas syair dari Tukang Aliah. Antaro kito duduak sasandiang bak a
pandapek rang Koto Aua, dek Tandikek. Patuiklah patuik beko pandang sasewai
sabok basobok senter bapatiak (antara kita duduk sejajar, bagaimana
pendapat dari orang Koto Aua dan Tandikek. Patutlah patut nanti pandangannya
sesuai, sebab bertemu karena lampu dihidupkan).
Setelah Katik mengakhiri syairnya, penari indang kali ini menjentikan jari
secara bergantian. Dalam posisi duduk, Katik menggoyangkan tubuh dua kali ke kiri dan kanan. Rapa’i
diletakkan di depan masing-masing penari kembali mengikuti bait syair terakhir yang diucapkan oleh Katik
tadi.
Syair
kembali dibalas oleh indang undangan. Caliaklah bacaliak intan dalam kasiak
untuang dapek juo ameh babatang, ko laweh na lepoh sitapak itiak untuang lai
jajak ayam tagak ndag ilang. Kok ado nan jalan bara nantik, jan lupo pulo jalan
nan usang.alah tu dulu, sahinggo itu, dialiah dulu parundiangan, manga lamo na
dipasawangan. (Lihatlah
dilihat intan di dalam pasir, untung dapat juga emas berbatang. Kalau pun luas
jejak dari itik, untung jejak ayam tidaklah hilang. Kalaupun ada jalan yang
baru, jangan lupa pula jalan yang lama. Itu dulu sampai
di situ, dialihkan dulu perundingan, buat apa lama di tempat yang lengang).
Selanjutnya keempat belas penari
indang bersama Tukang Aliah pun mengucapkan syair bersamaan. Salamaik datang kami ucapkan
alah tu dulu, sahinggo itu, dialiah dulu parundiangan, manga lamo na
dipasawangan (selamat datang kami ucapkan, itu dulu sampai di situ,
dialihkan dulu perundingan, buat apa lama di tempat yang lengang).
Akhirnya indang ditutup dengan gerakan menunduk dengan telapak tangan
menyentuh lantai, sembari memukul rapa’i. Kemudian keempat belas beserta Tukang Aliah berdiri sambil membentuk dua
kelompok dan keluar secara bersamaan.
Ketua pelaksana alek gadang,
Ali Basar mengatakan, pertunjukkan
yang dipentaskan di Desa Durian Hijau, Kecamatan V Kota, Padang Alai, Sumatera
Barat ini bertujuan untuk memeriahkah hari raya idul fitri dan menyambut anak nagari (putra daerah) yang baru pulang dari perantauan. “Kegiatan ini juga bertujuan untuk
menggalang dana guna membangun daerah, dari anak nagari (putera daerah) yang baru pulang dari perantauan," ungkapnya.
Salah seorang penonton,
Hendrizal mengungkapkan, pertunjukkan ini merupakan salah satu bentuk
pelestarian seni budaya Minangkabau. “Saya sangat
mengapresiasi kegiatan ini, karena secara langsung telah menggalakkan kesenian
daerah yang sudah hampir terlupakan”, ujarnya.
AN