Judul
: Islam Nusantara: dari Ushul Fiqh
hingga Paham Kebangsaan
Penulis
: Abdurrahman Wahid, Mustofa Bisri,
dkk.
Editor
: Akhmad
Sahal dan Munawir Aziz
Penerbit
: Teraju Indonesia-Mizan, Jakarta
Cetakan
: I, Agustus 2015
Tebal
: 389 hlm
Belakangan ini, diskusi dan
perdebatan tentang konsep Islam Nusantara diselenggarakan oleh berbagai
komunitas Islam, baik dalam halaqah maupun seminar internasional. Menariknya,
dinamika Islam Nusantara ini hadir untuk menyambut Muktamar dua organisasi
Islam terbesar di Indonesia; Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Pada 1-5
Agustus 2015, NU menyelenggarakan Muktamar di Jombang, Jawa Timur. Sementara,
pada 3-8 Agustus, Muhammadiyah menghelat muktamar di Makassar.
Apa yang menjadikan Islam
Nusantara begitu menarik diperbincangkan sebagai sebuah diskursus pengetahuan?
Secara geostrategis dan geopolitik, Islam Nusantara menjadi tawaran konsep keislaman
global yang saat ini membutuhkan rujukan. Ketika kondisi politik dan diplomasi
di Timur Tengah mengalami ketegangan, identitas Islam di kawasan ini juga
bercitra negatif dengan pertikaian antar kelompok dan radikalisme yang
memuncak.
Diskursus Islam Nusantara menjadi
sangat strategi di tengah perkembangan dunia saat ini. Karena, secara
genealogis Islam Nusantara juga tidak terputus dalam jaringan pengetahuan
dengan Islam di Timur Tengah (Hijaz), terutama pada masa Walisanga pada kisaran
abad 16 dan 17.
Buku “Islam Nusantara: dari Ushul
Fiqh Hingga Paham Kebangsaan” (terbitan Teraju-Mizan) menjadi salah satu buku
penting dalam merumuskan konsepsi teoretik dan genealogi Islam Nusantara. Buku
ini disusun, dari 18 penulis yang memberikan pandangan masing-masing tentang
rumusan hukum Islam, tradisi Islam, hingga konsep hubungan antara Islam dan
nasionalisne. Inilah yang menjadi nyawa buku ini.
Kiai Musthofa Bisri, dalam
sambutan atas buku ini, menegaskan bahwa konsepsi Islam Nusantara, dapat
dilacak dari pemahaman atas tarkib (kaidah) dalam bahasa Arab, yakni tentang
format idhafah. Dimana, Islam Nusantara, menyimpan makna fi, yang berarti “di”.
Dengan demikian, Islam Nusantara dapat dipahami dengan konsep Islam di
Nusantara. Atau, dalam bahasa lain, Islam Nusantara juga menggunakan konsep
shifat maushuf, yang berarti “Islam yang menusantara”, atau Islam Nusantarawi.
Dalam pandangan KH. Said Aqil
Siroj, Islam Nusantara merupakan Islam yang ramah terhadap tradisi lokal.
“Islam Nusantara bukanlah agama baru, bukan juga aliran baru. Islam Nusantara
adalah pemikiran yang berlandaskan pada sejarah Islam yang masuk ke Indonesia
tidak melalui peperangan, tetapi melalui kompromi terhadap budaya.”
Islam Nusantara: Fiqh dan
Nasionalisme
Dalam historiografi Indonesia,
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah menjadi pelopor perjuangan kebangsaan. NU dan
Muhammadiyah selalu berusaha terletak di garis moderat untuk memperjuangkan
kemerdekaan serta menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Berdirinya NU, tidak lepas dari peran Kiai Hasyim Asy’arie (1875-1947), Kiai
Wahab Chasbullah (1888-1971) dan Kiai Bisri Syansurie (1886-1980). Sementara,
Kiai Ahmad Dahlan (1868-1923) berjuang untuk menjemput kemerdekaan dengan
gerakan organisasi yang dipimpinnya. Secara genealogis, Kiai Hasyim Asy’arie
dan Kiai Ahmad Dahlan memiliki guru yang sama: Kiai Saleh Darat Semarang
(Bruinessen, 2007). Dengan demikian, basis pengetahuan dan perjuangan NU dan
Muhammadiyah sebenarnya dalam garis yang sama.
Kiai Wahab Chasbullah
menginisiasi berdirinya NU setelah ia pulang dari mendalami Islam di Makkah dan
Madinah. Sewaktu di Hijaz, Kiai Wahab mengikuti dinamika politik tanah air dan
menggerakkan anak-anak muda dengan mengikuti organisasi Sarekat Islam. Sebagai
orang pergerakan, Kiai Wahab mengerti bahwa tidak hanya dibutuhkan pengetahuan
dan fondasi pemikiran, akan tetapi juga strategi organisasi dan jaringan
pergerakan.
Kemudian, ketika Kiai Wahab
kembali ke tanah air, terpikir untuk membentuk organisasi yang mewadahi
aspirasi komunitas pesantren. Kiai Wahab mengerti bahwa, peta pergerakan pada
masa awal sudah berada pada rel yang benar, akan tetapi masih penuh dengan
gesekan kepentingan antar organisasi. Sebelum NU berdiri secara resmi, telah
ada Budi Oetomo, Sarekat Islam, Muhammadiyah dan beberapa organisasi lainnya.
Ketika Kiai Wahab Chasbullah meminta restu guru sekaligus mentor pergerakan
kepada Kiai Hasyim Asy’arie, tidak lantas disetujui untuk membentuk sebuah
organisasi.
Akan tetapi, Hadratussyaikh
Hasyim Asy’arie mewanti-wanti untuk menguatkan konsep, membangun jaringan dan
mensosialisasikan kepada seluruh ulama-ulama yang mengasuh pesantren dan Islam
di kawasan Nusantara. Hasilnya, Kiai Wahab melakukan perjalanan selama dua
tahun, sejak 1924 hingga 1926. Kiai Wahab menggerakkan teman seperjuangan dan
jaringan pesantren di Lombok, Mataram, Banjarmasin, Sulawesi, Sumatera dan
pelosok Jawa. Kawan-kawan Kiai Wahab semasa di tanah Hijaz (Makkah-Madinah)
juga mendukung dengan penuh semangat, karena sebelumnya telah satu visi
perjuangan. Bahkan, jaringan ulama Jawi yang menjadi tulang punggung Islam
Nusantara, juga turut menjadi bagian dari lingkaran pengetahuan yang telah
dibangun oleh Kiai Wahab. Setelah semuanya matang, NU dideklarasikan pada 30
Januari 1926, dengan persetujuan dan dukungan dari ulama Nusantara (Saifuddin
Zuhri, 1999).
Dalam menggerakkan NU, Kiai Wahab
dikenal sebagai Kiai yang menguasai ilmu ushul fiqh, strategi pergerakan dan
diplomasi. Sementara, Kiai Bisri Syansurie berpegang pada dalil-dalil fiqh yang
ketat, dengan kepentingan untuk menjaga kehati-hatian dalam beribadah maupun
mu’amalah. Di antara keduanya, Kiai Hasyim Asy’arie yang sering mendamaikan
pendapat-pendapat keduanya, dengan keleluasaan pandangan dan perspektif
pergerakan untuk kebangsaan. Secara sederhana, Kiai Wahab berperan menginjak
gas, Kiai Bisri berfungsi sebagai rem, sementara Kiai Hasyim Asy’arie memegang
kemudi organisasi untuk menfungsikan gas dan rem pada waktu yang tepat.
Kiprah Kiai Hasyim Asy’arie, Kiai
Wahab Chasbullah, Kiai Bisri Syansurie, Kiai Wahid Hasyim, Kiai Abdurrahman
Wahid, Kiai Sahal Mahfudh dan beberapa ulama lainnya memainkan peran penting
dalam konfigurasi perjuangan kebangsaan. Sejarah Mukatamar Banjarmasin pada
1936 tentang Darussalam sebagai model negara Indonesia, Resolusi Jihad pada 22
Oktober 1945 dan segenap perjuangan kebangsaan yang dipraktikkan para kiai
pesantren menjadi wujud dari hadirnya ghirah untuk berjuang menegakkan bangsa,
membela NKRI. Inilah kiprah dari kiai-santri dari komunitas pesantren yang
mengukuhkan Islam Nusantara. Dalam konteks ini, Islam Nusantara menjadi tawaran
atas referensi keislaman bagi kaum muslim di dunia.
Selamet Widodo, Mahasiswa
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta