![]() |
(Sumber: Internet) |
Oleh: Lia Syam Arif*
Pelecehan seksual pada perempuan kini masih
marak terjadi di Indonesia. Fakta membuktikan korban pelecehan didominasi oleh perempuan
di bawah umur. Biasanya pelaku berasal dari orang terdekat korban entah keluarga, saudara, maupun orang asing. Terkadang perbuatan tak bermoral tersebut dilakukan di depan publik semisal dalam transportasi umum dan tempat sepi.
Untuk itu, mestinya perempuan
bisa menjaga prilaku dan cara berpakaian agar tak selalu menjadi sasaran kejahatan.
Diawali dengan lebih menjaga diri, berpakaian terbuka lagi mencolok kerap dikenakan
banyak perempuan. Padahal sebenarnya hal tersebut bisa membuka peluang bagi
pelaku untuk bertindak asusila.
Belakangan ini tapatnya pada 24 Juni kembali ditemukan kasus pelecehan
seksual di Kalibata City. Korban merupakan mahasiswi, dan diketahui pelaku seorang
warga negara asing berasal dari Irak bernama Hussein Hashim. Mulanya korban dan
pelaku sedang menunggu lift. Sesaat kemudian, dengan sengaja tangan
pelaku menyentuh bagian belakang tubuh korban. Korban pun menjerit, langsung
saja ia mengadukan Hussein ke pihak keamanan apartement lalu diteruskan ke
kepolosian.
Berkaca pada kasus pelecehan tersebut, untung saja korban berani bertindak.
Sebab banyak juga korban pelecehan tak mengadukan kejahatan tersebut ke kepolisian. Beberapa macam alasan mendasari mengapa korban
pelecehan seksual memilih untuk tidak melapor. Di antaranya karena mendapat
ancaman dari pelaku. Terlebih bila korban melapor ke kepolisian maka ia akan
menjadi pusat perhatian yang akhirnya ia bisa dikucilkan di masyarakat.
Tak hanya itu, keluarga korban pun mengkhawatirkan kondisi psikologis dan tanggapan
miring dari masyarakat menjadi alasan lain korban enggan angkat bicara. Di sisi
lain hal tersebut sangat disayangkan banyak pihak, sebab dengan begitu pelaku dapat
bebas berkeliaran dan leluasa mencari korban berikutnya.
Survei Komisi
Nasional (Komnas) Anti Kekerasan Terhadap Perempuan mencatat sebagian besar pelaku asusila berasal dari orang yang memiliki hubungan darah dengan korban seperti ayah, paman, kakak atau pun saudara sepupu. Prosentase
survei tersebut menyentuh angka 76 persen, itu membuktikan bahwa perlindungan
negara terhadap perempuan masih rendah.
Meskipun begitu diperlukankan kedewasaan masyarakat untuk meminimalisir terjadinya
tindakan pelecehan. Serta dibutuhkan peran besar pemerintah dalam menghukum
pelaku cendrung sesuai dengan kejahatannya agar pelaku jera dan
kejahatan tersebut tak terulang lagi. Adapun bentuk usaha pemerintah ialah
dengan membentuk Komisi Nasional (Komnas) Anti Kekerasaan Terhadaap Perempuan.
Di sisi lain pengesahan undang-undang (UU) tentang anti kekerasan terhadap
perempuan No 65 pasal II tahun 2005 yang
berbunyi mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap
perempuan dan penegakan hak-hak asasi manusia perempuan di Indonesia.
Meningkatkan upaya pecengahan dan penangulan
segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan perlindungan hak asasi-asasi
perempuan.
Namun, upaya pemerintah akan terasa percuma jika masyarakat sendiri masih
acuh terhadap sesama. Diperlukan keberanian lebih dari korban melaporkan pelaku
pelecehan ke kepolisian. Kepolisian pun mestinya memberikan hukuman yang
setimpal bagi pelaku agar tidak ada lagi korban pelecehan berikutnya.
Untuk mencegah terjadinya kasus pelecehan seksual, maka perempuan baiknya bisa
membekali diri meraka dengan berbagai tindakan. Di antaranya banyak mempelajari
persoalan pelecehan seksual, mampu bertindak asertif dan berani mengatak tidak
(menolak), mau bertindak sebagai saksi, membentuk kelompok solidaritas peduli
perempuan, dan mekampanyekan penegakan hukum bagi hak-hak perempuan.
*Penulis adalah mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Adab dan Humaniora