![]() |
Ilustrasi. (Sumber: beritariau.com) |
Oleh:
Tommy Soetrisno*
Radikalisme
yang mengatasnamakan agama hingga saat ini terus mengalami
peningkatan, dengan cara yang semakin maju dan pola yang sangat sistematis.
Hingga masuk ke dalam sistem kepemerintahan yang secara tidak langsung dapat
menciptakan peluang-peluang untuk memperluas paham tersebut dengan cepat.
Gerakan
radikalisme sesungguhnya bukan sebuah gerakan yang muncul begitu saja tetapi
memiliki latar belakang yang sekaligus menjadi faktor pendorong munculnya
gerakan radikalisme. Radikalisme
dalam studi ilmu sosial diartikan sebagai pandangan yang ingin melakukan
perubahan yang mendasar sesuai dengan interpretasinya terhadap
realitas sosial atau ideologi yang dianutnya. Radikal dan radikalisme adalah
sebenarnya konsep yang netral dan tidak bersifat melecehkan.
Pakar tafsir dari IAIN Walisongo, Semarang, Dr. Arja’ Imrani
mengungkapkan, secara teori munculnya kekerasan yang berkedok agama lebih
disebabkan oleh adanya otoritarianisme terhadap teks, ada beberapa teks atau
nash Al-Qur’an misalnya, yang seolah memerintahkan kekerasan. Teks semacam itu
sangat tergantung dengan pembacanya. Apabila dibaca dengan semangat kekerasan,
maka teks itu pun bisa menjadi legitimasi aksi kekerasan. Begitu pula
sebaliknya. Oleh karenanya kita harus berhati-hati dalam membaca teks-teks
hukum, terutama yang terkait dengan kekerasan. Dibutuhkan pengetahuan tentang sejarah,
asbab nuzul, serta kaedah-kaedah pembacaan teks yang baik. Sehingga bunyi teks
itu tidak keluar dari konteksnya.
Sedangkan dalam sejarah timbulnya paham radikalisme di antaranya; Pertama, warisan sejarah umat Islam yang konfliktual
dengan rezim, karena ada modus-modus penindasan politik Islam yang terjadi pada
beberapa fragmen sejarah. Kedua, fenomena ekonomi dan politik.
Selain adanya penindasan politik,
argumen dengan argumen ini, radikalisme muncul karena ekses kapitalisme yang menciptakan mereka yang
tak memiliki akses pada sumber-sumber modal. Dalam bahasa
ekonomi-politik, pendekatan ini dikenal
dengan “pendekatan kelas”. Artinya, respons radikalisme pada dasarnya adalah respon kelas untuk melawan
hegemoni kapital yang oligarkis dengan negara.
Lalu bagaimana radikalisme keagamaan
berkembang di Indonesia hingga menimbulkan teror-teror yang mengerikan bagi
kehidupan warganya. Beberapa kasus besar yang sudah terjadi dari Bom Bali
1 dan 2, JW Marriot, aksi bunuh diri dan sampai pengiriman kader-kader Mujahid ke
Timur Tengah guna berperang dan belajar tentang bagaimana pola perekrutan
sampai membuat bom. Hal-hal tersebut merupakan usaha-usaha yang dilakukan oleh
beberapa kelompok radikalisme.
Menurut van Bruinesen (2002), kelahiran paham
radikalisme dapat dilacak pada munculnya Darul
Islam di beberapa kota dan partai politik Majelis Syura Muslimin
Indonesia (Masyumi) yang kerap membangun jaringan transnasional dengan
beberapa gerakan di Timur Tengah. Gerakan yang dimaksud beragam,
misalnya Wahabi di Arab Saudi, Ikhwanul Muslimin di Mesir,
dan Hizbut-Tahrir dari Yordania. Darul Islam membangun fragmen
kelompoknya dengan kekuatan militer. Beberapa pemberontakan lahir di Sulawesi
Selatan (Kahar Muzakkar), Kalimantan Selatan (Ibnu Hajar), Jawa Barat
(Kartosuwiryo), dan Aceh (Daud Beureueh). Dengan kekuatan ini, Darul Islam melancarkan pemberontakan kepada Pemerintah
Republik Indonesia secara
terbuka, kendati kemudian dapat diberangus oleh rezim politik ketika itu.
Adapun Masyumi membawa gagasan Islam dalam kerangka kenegaraan di parlemen
dan berhasil menempati posisi kedua di Pemilu 1955.
Dari sejarah singkat tersebut, Indonesia
mengalami sejarah yang sangat pelik hingga saat ini masih terus berjalan dengan
banyak kedok, modus, pola, dan lain-lain. Sampai terjadinya kasus-kasus besar
seperti di atas sudah diungkapkan. Indonesia bukan lagi negara yang sedang
mencari jati dirinya, namun Indonesia merupakan negara berideologikan
pancasila, bersemboyankan Bhinneka Tunggal Ika, dan berlandaskan
UUD 1945, serta bentuk
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Untuk
membendung paham-paham radikal agar tidak berkembang dengan pesat di Indonesia. Beberapa
solusi yang saya coba kemukakan agar
paham tersebut tidak berkembang luas di Indonesia; Pertama, perlu ada upaya penggalangan aksi untuk menolak
sikap kekerasan dan terorisme. Aksi ini melibatkan seluruh kelompok-kelompok
dalam agama-agama yang tidak menghendaki hal demikian. Terorisme dan kekerasan
adalah bentuk pelecehan atas nama agama dan kemanusiaan. Kedua,menumbuhkan karakter keberagamaan yang moderat. Memahami
dinamika kehidupan ini secara terbuka dengan menerima pluralitas pemikiran
“yang lain”, yang ada di luar kelompoknya. Ketiga,
memperkuat gagasan ideologi bangsa Indonesia yang lebih kuat.
*Penulis adalah Pegiat Lembaga Kajian Informasi
Terpadu Nusantara (KITA) Institute