Mereka adalah sepasang suami istri, Korep dan Turah. Turah mengungkapkan
kemuakannya terhadap nasib miskin mereka, ia ingin kaya. Namun, Korep tetap
kukuh dengan pendiriannya bahwa hidup sederhana akan membuat ia lebih bahagia. “Kau
itu takut kaya Korep!” maki Turah pada suaminya.
Bosan hidup dalam kemiskinan membuat Turah nekat. Ia dan beberapa
orang miskin lainnya mengadu nasib pada sekelompok bandar judi togel. Semua hartanya ia jual kepada tukang loak,
bahkan hingga kehormatannya. Namun nasib berkata lain, pengorbanan Turah
sia-sia. Ia kalah dalam perjudian.
Mengetahui Turah menjual kehormatan demi harta, Korep membabi buta.
Ia pun menempuh jalan pintas dengan mendatangi Embah.
Empat puluh hari empat puluh malam Korep menempuh perjalanan yang
tak mudah. Untuk menemui Embah ia harus melewati hutan belantara, sungai lumpur
dan pemakaman-pemakaman. Lalu, Korep harus memakan sambal goreng lintah, minum
air kencing perawan tua, dan makanan najis lainnya.
Setelah itu, ia dianggap
telah siap menjadi orang kaya. Sebagai persyaratan, Embah meminta Korep agar menumbalkan
istri-istrinya. Selama Empat belas tahun pernikahan, empat belas istri, dan
empat belas peti mati menghiasi kehidupan Korep yang mewah.
Namun, dibalik hartanya yang melimpah, Korep merasa hampa. Kegetiran
baru dirasakan Korep ketika satu per
satu orang terdekatnya pergi meninggalkannya. Ia lalu sadar bahwa kekayaan
bukanlah segalanya dan memutuskan untuk kembali menjalani hidup sederhana.
Kembalinya Korep menjalani hidup miskin yang bahagia bersama Turah menjadi penutup pentas berjudul Tengul
yang diadakan oleh Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastar Indonesia (PBSI) di
Aula Student Center Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,
Senin (8/6).
Pementasan yang disutradarai Eka Putri Hanifah ini merupakan rangkaian
pagelaran drama PBSI Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FITK) UIN Jakarta. Pagelaran drama ini berlangsung selama empat
hari dengan mengusung karya-karya Sastrawan Arifin C. Noer.
Menurut Eka, pementasan drama ini mengajarkan kita untuk selalu
mensyukuri apapun keadaan yang ada. “Hidup sederhana lebih kaya dari pada kaya
harta, asal kita mensyukuri keadaan itu,” ungkap mahasiswa PBSI semester enam
ini.
Pagelaran drama ini juga mendapat respons dari penonton. Nur Subhan,
salah satu mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum mengungkapkan drama yang
disajikan meskipun lama, tapi tidak membuat penonton bosan. “Beberapa adegan
dan percakapan yang ada, mengundang tawa kita semua,” terang Subhan.
KB