![]() |
Ilustrasi. (Sumber: Internet) |
Oleh: Pandent M. N. Lubis*
Ketika Presiden
Joko Widodo berada di Solo untuk menghadiri perayaan pernikahan putranya di
Solo, di saat itu pula media ramai memberitakan soal penunjukkan Ketua Umum
Partai Kesatuan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Sutiyoso, Sebagai Kepala Badan
Intelijen Negara (BIN).
Mungkin momentum
pernikahan putranya ini merupakan suatu strategi untuk menghalau pertanyaan
media dan pihak lain seputar pengajuan Letnan Jendral Purnawirawan itu sebagai
KaBIN. Bagaimana tidak, respon pro dan kontra pun mulai meramaikan pemberitaan
terkait keputusan Presiden itu.
Menunjuk Kepala
Telik Sandi di Republik ini memang merupakan hak prerogatif Presiden. Akan
tetapi, mengingat Sutiyoso adalah Ketua Umum PKPI, apakah ini merupakan murni
keputusan Presiden berdasarkan rekam jejak atau dorongan politik balas budi
karena PKPI merupakan bagian dari Koalisi Indonesia Hebat.
Saat kampanye pemilihan
pilpres yang lalu, banyak janji Jokowi – Jusuf Kalla (JK) yang didengungkan
termasuk program besar Nawa Cita dan koalisi tanpa syarat. Di antara turunan
dari Nawa Cita itu ialah penegakkan hukum, pemberantasan korupsi dan
penyelesaian kasus Hak Asasi Manusia (HAM). Dengan ditunjuknya mantan Pangdam
Jaya ini sebagai KaBIN, banyak pihak yang mempertanyakan komitmen Jokowi
terlebih persoalan penegakkan hukum dan HAM.
Direktur Eksekutif
Imparsial, Poengky, mengatakan ada lima catatan penting yang harus
dipertimbangkan Jokowi dalam mengajukan Sutiyoso menjadi KaBIN. Pertama,
Keterlibatan Sutiyoso dalam pelanggaran HAM kasus kerusuhan 27 Juli 1996 saat
ia menjadi Panglima Kodam Jaya. Kedua, saat jadi Gubernur Jakarta, ia dikenal
sebagai tukang gusur rumah warga. Ketiga, kental dengan orde baru, jadi ia
dianggap masih represif. Keempat, merupakan pimpinan Partai, jadi rentan untuk
di politisasi. Dan terakhir, sudah terlalu tua untuk menjadi KaBIN (Republika.co.id, 11/6/2015).
Apakah hal tersebut
akan berakhir seperti kasus Budi Gunawan, yang di setujui DPR dan di tolak KPK
serta masyarakat umum. Terlebih untuk KaBIN ini, DPR akan melibatkan Komnas HAM
dan KPK dalam fit and proper
test.
Perlahan komitmen
tersebut mulai luntur, baik dari kinerja pemerintahan Kabinet Kerja maupun
bagi-bagi kekuasaan yang jauh dari harapan koalisi tanpa syarat. Hal ini memang
membuktikan bahwa Jokowi belum bisa untuk keluar dari cengkraman oligarki
partai pengusung dan orang-orang dekat yang banyak memiliki kepentingan
dikekuasaannya ini.
Sinyal Kepasrahan
Dari awal
pemerintahan Jokowi – JK banyak kebijakan dan keputusan yang cukup meresahkan
masyarakat. Baik dari kebijakan yang tidak populis seperti menaikkan harga BBM,
tarif dasar listrik, penunjukkan Kapolri yang memiliki rapor merah dari KPK,
soal mobil nasional dan kebijakan lainnya.
Penempatan posisi
yang strategis di pemerintahan ini pun sangat kental dengan bagi-bagi
kekuasaan, sehingga menjadi polemik di internal koalisi, organisasi pengusung
maupun yang bersifat perorangan yang tidak kebagian jatah. Publik pun
mempertanyakan kembali komitmen di awal soal koalisi tanpa syarat dan
pemerintahan yang bersih.
Hal-hal yang
bersifat admistratif dan kesalahan kecil lainnya pun seperti sengaja dibuat
oleh orang-orang dekat di sekitar Jokowi untuk memanfaatkan posisinya sebagai presiden. Seperti yang kita tahu soal penandatanganan Perpres soal DP (Down Payment) untuk pembelian mobil
pejabat, yang Jokowi sendiri tidak mengetahui isinya sehingga memancing amarah
publik. Soal pidato yang salah tentang tempat kelahiran Bung Karno pun seolah tidak
teliti si pembuat pidato tersebut untuk pidato pimpinan negara.
Pada Kongres PDIP
di Bali yang kemarin pun menggambarkan Jokowi diam dalam kepasrahan. Sebuah
acara yang mengundang Presiden RI, tidak mungkin protokoler tidak tahu soal
jadwal dan isi acara. Akan tetapi, Jokowi sebagai Presiden RI hanya pasrah
tidak diberi kesempatan untuk bicara.
Belum lagi kita
lihat kinerja Kabinet Kerja yang belum memuaskan dalam pelaksanaan program Nawa
Cita. Majalah Tempo, edisi 6-12 April 2015,
mengungkapkan bahwa program Nawa Cita yang tertuang dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang disusun oleh Badan Perencananaan
Pembangunan Nasional (Bappenas) hanya sekitar 10 persen. Apakah Pemerintahan
Jokowi – JK ini mampu menjalankan janji-janjinya?
Jika kita melihat berbagai produk kebijakan dan
kegaduhan politik saat ini, apakah semua ini merupakan murni ketidaktegasan
Jokowi selaku pimpinan Republik atau ini merupakan bagian dari strategi Jokowi
bahwa kepasrahannya ini adalah sinyal bahwa ia berada dalam intervensi dari
cengkraman oligarki politik.
Oligarki partai politik, pengusaha hitam pemburu rente
dan birokrat yang korup memang merupakan musuh rakyat sejak Orde Baru hingga
kini. Persengkokolan ketiga unsur tersebut yang selalu faktor yang sistemik dan
struktural dalam merugikan negara.
Jokowi memang tidak bisa lepas dari partai pengusung.
Tetapi ia juga banyak dipilih oleh rakyat yang bukan dari kader partai
pengusung. Di sini terlihat Jokowi butuh dorongan dan dukungan oleh rakyat
Indonesia secara luas dalam menjalankan roda pemerintahannya.
Di samping itu, perlu diingat oleh Jokowi sebagai
orang nomor satu di republik ini, ketika publik sudah memberi dukungan dan
dorongan, maka perlu juga ketegasan dari Jokowi. Berani mengevaluasi Kabinet
Kerja, menjalankan program Nawa Citanya dengan baik dan menjaga marwah serta
kedaulatan Bangsa.
*Aktivis KMSU (Komunitas Mahasiswa Sumatra
Utara)