![]() |
Ilustrasi. (Sumber: Internet) |
Oleh:
Rifka Indi*
Pendidikan
Indonesia tengah berada di ambang keterpurukan. Saat ini, perayaan Hari
Pendidikan Nasional (Hardiknas) hanya sebatas seremoni, pendidikan pun tak dianggap
penting karena semua hal seakan dapat dibeli dengan uang. Akhirnya, masyarakat memilih
membeli ijazah palsu ketimbang mengenyam bangku pendidikan.
Mencerdaskan
kehidupan bangsa menjadi tujuan utama pendidikan di Indonesia. Sayangnya,
tujuan tersebut mulai berubah. Jika dulu masyarakat bersekolah guna menimba
ilmu pengetahuan, kini ijazah menjadi satu-satunya orientasi pendidikan. Banyak instansi menuntut ijazah
sebagai bukti seseorang telah menempuh pendidikan. Akan tetapi, mereka tak
melakukan verifikasi yang jelas terhadap ijazah yang diberikan.
Seperti
yang dilansir dari Kompas.com Rektor University of Sumatera, Marsaid Yushar
(63) diringkus di Jalan Gatot Subroto, Medan,
Senin (25/5) akibat dugaan pemalsuan ijazah. Selama 12 tahun beroperasi,
Marsaid sudah mengeluarkan 1.200 ijazah palsu. Tingkat harga yang ditawarkan pun
beragam mulai dari Rp10 sampai Rp40 juta, tergantung dari jenjang
pendidikannya.
Persoalan
ijazah palsu nyatanya juga menjerat para pejabat negara. Baru-baru ini, tepatnya 27 Mei, dua anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Frans Agung Mula Putra
dan Jalaludin Rakhmat dilaporkan akibat dugaan penggunaan ijazah palsu ke
Mahkamah Kehormatan Dewan.
Jika gelar yang mereka sandang
terbukti palsu, tak menutup kemungkinan sumpah jabatan yang mereka ucapkan pun
palsu. Layaknya seorang aktor, mereka pandai menutupi kepalsuannya dengan cara
berakting. Tak heran jika God Bless menyebut dunia ini sebagai panggung
sandiwara.
Saat ini, gelar pendidikan untuk
meraup suara dalam Pemilihan Umum (Pemilu), menunjukkan perilaku yang tidak
etis. Mereka melakukan segala cara untuk mendapatkan kursi jabatan. Jika hal tersebut
diteruskan, bukan tidak mungkin Indonesia beberapa tahun ke depan akan
mengalami kemunduran dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya.
Dalam
bidang ekonomi, Indonesia telah lama dijajah oleh pihak luar negeri misalnya pada
kasus Freeport. Perpanjangan kontrak Freeport hingga tahun 2041 berdampak buruk
bagi bangsa Indonesia, seperti pencemaran lingkungan dan pengambilan harta
kekayaan. Dampak tersebut tidak lepas dari pentingnya arti pendidikan.
Ironis
memang melihat dunia pendidikan yang makin terbelakang. Beragam upaya perlu
dilakukan guna memutus rantai kebodohan. Kultur masyarakat Indonesia yang
menganggap ijazah sebagai status sosial harus segera dihilangkan. Masyarakat
wajib mengerti bahwa ijazah hanyalah lembaran kertas yang menunjukkan
pencapaian di bidang pendidikan.
Selain itu, paradigma masyarakat
yang hanya menginginkan segala sesuatu secara instan harus diubah. Masyarakat
perlu diberikan pemahaman bahwa persaingan ke depan tidak hanya soal ijazah,
tetapi lebih kepada kemampuan individual. Lembaran ijazah tidak dapat menyokong
keberadaan seseorang di masa depan. Karena kemampuan seseorang tergantung dari
pengalamannya masing-masing.
Pemerintah harus fokus pada mekanisme
perguruan tinggi. Jangan sampai muncul perguruan tinggi bayangan, di mana
mereka sudah memiliki akreditasi tetapi tidak menjalankan kegiatan
perkuliahannya dengan baik. Dalam memberikan akreditasi, berbagai aspek harus
dicermati, mulai dari jadwal perkuliahan, rasio dosen, dan data mahasiswa
perguruan tinggi tersebut. Pengawasan yang ketat juga perlu dilakukan dalam
instansi pemerintahan maupun perusahaan. Sehingga pengguna ijazah palsu tidak
dapat lolos verifikasi dan dapat diproses lebih lanjut.
Dalam melakukan pengusutan, pihak
kepolisian juga harus mengusut secara tuntas perihal pelaku kejahatan pemalsuan
ijazah. Mereka harus dijatuhi hukuman setimpal atas perbutan yang merugikan
masyarakat beserta negara. Sehingga tidak akan muncul kasus serupa pada tahun
berikutnya.
*Penulis
adalah mahasiswa Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, UIN Jakarta