Asap
putih tebal mengepul tinggi dari Gunung Merapi disertai alunan suara gamelan
khas musik Jawa Tengah. Tiba-tiba, kain putih dengan panjang enam meter
menutupi hampir seluruh panggung, diikuti suara gemuruh Gunung Merapi yang sedang
mengeluarkan lahar. Entakkan tujuh pasang kaki menambah keriuhan suasana di
atas panggung saat itu.
Seketika, suasana menjadi sunyi. Hanya terdengar uyon-uyon
(tembang Jawa) yang diiringi alunan suara gamelan. Kain putih pun tak lagi
menutupi panggung. Lampu yang sedari tadi menyorot ke arah panggung, mulai
meredup.
Satu per satu lampu mulai menyala kembali. Tak lama,
muncul laki-laki berkumis mengenakan baju adat khas Jawa Tengah, seorang Raja
Mataram bernama Panembahan Senopati. Serta wanita yang mengenakan kebaya
berwarna merah, berambut cepol, dan berwajah sedikit keriput. Dialah istri
Senopati, Nyi Adisara.
Kala itu, Senopati menyampaikan keresahan hatinya kepada
istrinya. Ia resah karena Mataram belum mampu menaklukkan wilayah Perdikan
Mangir yang subur, makmur, dan gemah ripah loh jinawi. Rakyatnya juga sangat
menjunjung tinggi sikap demokratis. Terbukti, mereka sangat menyukai kegiatan
rembuk desa sebagai cerminan komunikasi antar Ki Ageng Mangir Wanabaya
(pemimpin Perdikan Mangir) dengan rakyatnya.
Banyak faktor yang menyebabkan Senopati sulit menaklukkan
Perdikan Mangir. Salah satunya, kekuatan Perdikan Mangir terletak di tangan Nyi
Sepuh (ibunda Wanabaya), Baru Klinthing (paman Wanabaya), dan Inten Prawesti
(adik angkat Wanabaya sekaligus panglima perang Mangir). Mereka adalah keluarga
yang menguasai olah kanuragan dan sangat pandai bersiasat.
Di
tengah perbincangan, Nyi Adisara yang sedang mengandung anak pertama, merasakan
sakit di perutnya. Ia merasa, bayi dalam rahimnya ingin segera keluar. Tak
lama, lahirlah putri pertama yang diberi nama Rara Pembayun. Keduanya berharap,
Pembayun akan menjadi panutan putri Mataram yang tangguh dan cerdik.
Pembayun tumbuh menjadi putri yang cantik. Melihat
kecantikan yang dimiliki putrinya, Senopati memerintahkan Nyi Adisara dan
Pembayun menyamar sebagai ledek untuk memikat Wanabaya dan menaklukkan Perdikan
Mangir. Tak lupa, rombongan ledek lebih dahulu mampir ke Sendang
Kasihan milik Rara Kidul agar Wanabaya tertarik dengan paras Pembayun.
Selama menyamar menjadi ledek, Nyi Adisara dan Pembayun
mengubah namanya agar penyamarannya berhasil. Nyi Adisara sebagai Nyi Pinjung,
sedangkan Rara Pembayun sebagai Ni Mas Madusari.
Rombongan ledek berhasil menghibur warga Perdikan Mangir.
Terlebih, Madusari sukses membuat Wanabaya jatuh hati padanya. Tak lama,
Wanabaya melamar Madusari sebagai istrinya. Merasa tujuannya hampir berhasil,
Pembayun memberikan syarat kepada Wanabaya jika serius ingin menikahinya.
“Jika kau serius ingin menikahiku, hanya satu pintaku.
Setelah menikah dan memiliki momongan, berjanjilah untuk mengantar ke tanah
kelahiranku,” pinta Madusari yang langsung disanggupi oleh Wanabaya. Wanabaya
merasa permintaan Madusari sangat mudah dan dia berjanji tidak akan mengingkari
perkataannya.
Pernikahan pun dilangsungkan. Berkat kesaktian Inten,
penyamaran Pembayun terbongkar. Wanabaya yang mendapatkan informasi penyamaran tersebut, naik pitam
dan langsung mengusir Pembayun dari Mangir. Namun Pembayun menolaknya, ia ingin
menagih janji Wanabaya untuk mengantarnya pulang ke Mataram dan menghadap
Panembahan Senopati.
Keduanya bertengkar hebat. Berkat Nyi Sepuh dan Baru
Klinthing, tak terjadi baku hantam antar keduanya. Nyi Sepuh yang ahli dalam
berstrategi, memutuskan agar Wanabaya menyamar sebagai Baru Klinthing, begitu
pun sebaliknya.
Ketika rombongan Mangir sampai di Mataram, Senopati
langsung membenturkan kepala Wanabaya ke singgasana. Tiba-tiba, Baru Klinthing
yang menyamar sebagai Wanabaya berubah ke wujud asalnya. Terjadilah perlawanan
antar keduanya yang dimenangkan oleh Senopati.
Senopati sadar, anaknya (Baru Klinthing) yang harus
menuntaskan konflik tersebut karena penyatuan Mataram dan Mangir membutuhkan
tumbal. Lantas, Pembayun yang memang mencintai Wanabaya dengan tulus, lebih
memilih pergi bersama Wanabaya untuk memulai kehidupan baru.
Menghilangnya Wanabaya, menjadi penutup dalam pentas
bertajuk “Pilihan Pembayun” yang dimainkan oleh Lembaga Teater Perempuan
Yogyakarta di Hall Student Center (SC) UIN
Jakarta, Senin (20/4). Dalam pertunjukkan yang disutradarai oleh Yudiaryani
itu, ia mencoba mengungkap kejadian Perang Babad yang sebenarnya menurut
dokumen yang dipelajari sebelumnya.
Dalam kebanyakan buku sejarah, akhir dari Perang Babad
adalah terbunuhnya Wanabaya oleh Panembahan Senopati. Hal itu bertolak belakang
dengan kisah yang dipentaskan. “Perbedaan tersebut dikarenakan kisah Perang
Babad ada di era kolonial Belanda yang ingin mengadu domba Perdikan Mangir dan
Kerajaan Mataram saat itu,” ujar Yudiaryani, Senin (20/4).
Aci
Sutanti