![]() |
Ilustrasi. (Sumber: Internet) |
Oleh : Muhammad Shofwan Nidhami*
Dalam beberapa bulan ini,
realitas politik negeri kian ramai. Hal itu terlihat dari adanya demo di
berbagai daerah dan munculnya surat terbuka untuk presiden. Ini semua tidak
luput dari tumpang tindihnya kebijakan pemerintah. Sungguh miris menyaksikan
karut marut kondisi ini. Padahal, bangsa ini mempunyai potensi besar untuk
menjadi negeri adidaya. Dengan semua kekayaan alam yang kita miliki, meminjam
istilah Mustofa Bisri bahwa Indonesia sebagai miniatur surga.
Pada saat yang sama, friksi
antar kubu politik yang tak kunjung padam, tumpulnya hukum, dan instabilitas
perekonomian membuat kita semakin yakin bahwa bangsa ini kini tengah dirundung
krisis multidimesional. Karena itu, diperlukan upaya untuk meredesain negeri
ini sesuai dengan cita-cita the founding fathers, yaitu mewujudkan
kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kewajiban ini menjadi tugas
pokok presiden dalam menciptakan tatanan bangsa agar sesuai dengan acuan dasar yaitu
Pancasila. Karena jika mengacu penggunaan sistem yang berlaku —presidensial—
hubungan antara badan eksekutif dan legislatif mempunyai kedudukan yang
independen. Presiden juga mempunyai kekuatan yang relatif kuat dan tidak dapat
dijatuhkan oleh kekuatan parpol manapun.
Dalam sistem presidensial,
presiden memiliki hak prerogatif yang tidak dipunyai oleh kekuasaan politik
lain, yang bisa digunakan untuk menjalankan kekuasaan negara. Dalam konteks
ini, presiden tidak hanya sebagai pusat kekuasaan eksekutif tetapi juga pusat
kekuasaan negara. Dan presiden memiliki banyak andil untuk mengatur keteraturan
negeri melalui kekuasaannya.
Pemimpin Pancasilais
Namun, sistem ini tidak efektif
bila pemimpinnya non-integritas, non-kualitas dan destruktif. Karena implikasinya terhadap tatanan penegakan hukum,
perekomonian, dan lain sebagainya. Untuk itu, kita harus memiliki pemimpin yang
mampu bertindak logis dan etis dalam
menjalankan kewajibannya.
Tujuan dari dipilihnya pimpinan
negara agar bisa mengembalikan ketenteraman, kesejahteraan, dan ketertiban yang
ada dalam masyarakat. Dan hal ini bisa terwujud bila pemimpin tidak bertindak
konspiratif dengan pihak asing manapun. Dengan tetap teguh pada pendirian dan
janji-janji awal sebelum terpilihnya yaitu untuk membangun Indonesia hebat.
Menyetir titah Tuhan Surat Ash-Shaf ayat 2-3 yang intinya kemurkaan
Allah kepada orang yang hanya pandai bersilat lidah namun tidak ada
pengamalannya.
Dan jika mengacu dari kacamata hukum, maka tujuan
dari negara hukum (rechtstaat) itu bisa terwujud salah satunya bila
disertai dengan kepemimpinan yang adil. Sebagaimana tertera pada pembukaan UUD
1945 alinea keempat “mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia”. Untuk mendapat keadilan itu, kita harus memiliki sebuah pemimpin
pancasilais tersebut.
Pernyataan yang dilontarkan
oleh Prof. Soerjono Soekanto bahwa kutub citra keadilan ada dua yaitu neminem
laedere atau equality (jangan merugikan orang lain) dan Suum
Cuique Tribuere atau Equaity (bertindak sebanding). Dari dua kutub keadilan ini bisa kita analisa
bahwa pada bagian equality lebih pada tatanan pergaulan hidup. Sedangkan
di bagian kedua lebih mengarah
penyamaan apa yang tidak berbeda dan membedakan apa yang tidak sama ataupun
hal-hal yang lebih konkret dan khusus.
Hubungan konsepsi di atas bila
kita hubungkan dengan pemimpin pancasilais tampak jelas bahwa salah satu jalan
untuk mendapat tujuan itu melalaui torotoar ini. Karena keadilan me
rupakan bagian asas negara yang harus diejawantahkan dalam menjalankan
pemerintahan itu sendiri. Tanpa hal ini, seolah-olah keberadaan negara sedang
pincang tidak memiliki pegangan. Yang ada hanya ketidakadilan dalam memutus
perkara kenegaraan.
Oleh karena itu, sudah saatnya
kita sadar realitas bahwa negara sedang berada dalam keadaaan karut-marut.
Apakah ini sebuah kutukan ataupun sedang kekosongan kekuasaan yang
diakibatkan instabilitas kepemimpinan.
Atau bisa dikatakan juga ini implikasi dari kita memiliki presiden sialan, hal
ini tergantung dari penilaian masyarakat. Sebutan ini cocok untuk digunakan
ataupun malah sebaliknya. Hal ini bukan untuk memprovokasi tapi hanya sebagai
perenungan hidup bernegara saat ini.
Mempelajari kepemimpinan ala
Rasulullah Waba’duh; sebuah pemerintahan dan kepemimpinan yang paling ideal
yaitu pada masa Rasulullah. Pada
masa inilah kita menyaksikan kesejahteraan, ketertiban, dan ketenteraman dalam
sebuah negara. Karena konsep yang digunakan ala kepemimpinan Rasul yaitu Sidiq,
Amanah, Tablig, dan Fatonah (baca:kepemimpinan Rasulullah). Dengan
empat kriteria ini pemimpin pancasilais juga dapat terbentuk dan terwujudkan.
Dalam konsep kepemimpinan pancasilais dan ala
Rasulullah memiliki sebuah kemiripan baik dari segi agamis dan nasionalis.
Karena dua konsep model kepemimpinan ini selalu mendahulukan kepentingan umat
dari pada pribadi. Dan seorang pemimpin harus memiliki dua kutub konsep
tersebut.
Meminjam istilah Prof. Oeman Senoadji yaitu
penafsiran futuristik atau menafsirakan sesuai dengan masa depan. Di sini
pemimpin pun juga harus mempunyai kemampuan membaca realitas dengan penafsiran
futuristik, agar dalam menentukan kebijakan dan memutuskan suatu perkara tidak
asal-asalan. Harus ada pertimbang matang dalam menyelesaikan perkara kenegaraan
tersebut baik melaui musyawarah dan lain sebagainya.
Karena itu, dari berbagai konsepsi di atas berharap
pemimpin pancasilais terwujud. Dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai
pancasila dan dasar-dasar hukum negara. Pemimpin bukanlah boneka siapa pun.
Pemimpin adalah tangan panjang rakyat yang akan mewujudkan negara lebih baik.
*Mahasiswa
Fakultas Syariah dan Hukum