Unjuk rasa yang mahasiswa lakukan
kerap menuai respons miring. Tidak heran, partisipasi mahasiswa dengan
tujuan menyuarakan aspirasi masyarakat
itu semakin berkurang.
Terik matahari siang itu tak
menyurutkan niat sekelompok mahasiswa untuk berorasi di halte Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Mereka yang berjumlah tak lebih dari
10 orang itu menuntut pemerintah mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT
Semen Indonesia di tanah Rembang.
“Jakarta cinta Rembang.
Selamatkan alam, Pulau Jawa dan Rembang, untuk anak dan cucu kita,” demikian
tulisan yang tertera di spanduk aksi mahasiswa yang mengatasnamakan Aliansi
Mahasiswa Jakarta Menolak Semen, Kamis (16/4). Untuk menarik perhatian orang
sekitar, sebagian di antara mereka juga berpakaian ala petani. Sementara
sisanya memainkan alat musik rebana yang sudah mereka siapkan sejak malam
sebelumnya.
Ragam cara dilakukan mahasiswa
untuk menyuarakan aspirasi. Salah satunya lewat berunjuk rasa. Seperti yang
dilakukan Selamet Widodo dan teman-temannya dalam membela warga Rembang yang
sedang bersengketa tanah dengan PT Semen Indonesia.
Mahasiswa Jurusan Tafsir Hadis
Fakultas Ushuluddin (FU), Ahmad Bahroin, juga memilih berunjuk rasa sebagai
upaya mengkritik kebijakan pemerintah yang kerap tidak pro rakyat. Biasanya,
Boim—sapaan akrabnya— menggunakan pamflet, poster, dan leaflet sebagai
sarana saat berunjuk rasa. “Tidak jarang pula kita melakukan aksi teaterikal,”
ucap Boim, Rabu (15/4).
Menurut Boim, berunjuk rasa
adalah cara efektif dalam menyampaikan aspirasi ketimbang kampanye lewat media
sosial. Dengan berunjuk rasa, aspirasi yang disuarakan bisa lebih mudah
tersampaikan. Sayangnya, kata Boim, banyak mahasiswa yang kini memandang
negatif aksi unjuk rasa.
Dhorifah, mahasiswi Jurusan
Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) menilai, selain
berunjuk rasa, diskusi publik atau memanfaatkan media sosial bisa jadi cara
lain mahasiswa menyampaikan aspirasi. “Jika itu dikembangkan mungkin efeknya
lebih bagus,” tukas Ifa, Kamis (16/4).
Senada dengan Ifa. Muhammad Akbar
Thariq, Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum (FSH)
menyesalkan tindak anarkis yang kerap terjadi saat unjuk rasa. Menurutnya,
itulah sebab banyak mahasiswa enggan berunjuk rasa. “Untuk apa melakukan aksi
jika banyak dampak buruk terjadi,” kata Thariq, Jumat (17/4).
Seperti yang dilakukan Boim
misalnya. Saat berunjuk rasa, ia dan massa aksi memang tidak jarang memblokir jalan. Katanya, itu
dilakukan massa aksi sebagai bentuk tekanan untuk pemerintah. “Sayangnya, media
lebih menyoroti dampak aksi dibanding
tuntutan aksi,” ucap Boim.
Boim juga mengeluhkan menurunnya
animo mahasiswa dalam berunjuk rasa. Hal itu ia rasakan dari sedikitnya massa
saat ia berunjuk rasa. “Paling, hanya sekitar 20 orang,” ujar Boim. Bahkan tak
jarang, aksi yang dilakukan Boim juga menuai kritik mahasiswa lain. Padahal,
lanjut Boim, sebelum sistem organisasi kampus berganti pada 2010 silam,
antusiasme mahasiswa berunjuk rasa cukup tinggi.
Hal tersebut diamini oleh Renal
Rinoza. Aktivis Lingkar Studi Aksi Demokrasi Indonesia (LS-ADI) ini menuturkan,
pasca pergantian sistem organisasi kampus, mahasiswa mulai kehilangan antusias
dalam melakukan unjuk rasa. Padahal, sebelumnya mahasiswa sangat berpengaruh
dalam menggerakkan aksi.
Renal juga menyayangkan gaya
hidup mahasiswa saat ini yang cenderung hedonis. Menurutnya, gejolak mahasiswa
dalam menanggapi isu mulai berkurang. “Kini, mahasiswa cuek terhadap situasi
yang ada,” ungkap Renal, Senin (13/4).
Rizky Rakhmansyah