![]() |
Ilustrasi. (Sumber: merdeka.com) |
Oleh: Aditia Purnomo
Dulu sekali, ada seorang anak muda yang punya daya kritis
tinggi. Pada masa sekolah, anak ini sempat dipaksa tinggal kelas lantaran
mengkritik seorang guru mata pelajaran sastra. Merasa tak senang dengan kritik
muridnya, sang guru memberi pilihan pada anak itu, meminta maaf padanya atau
tidak naik kelas.
Anak muda ini kemudian memilih
untuk pindah sekolah. Ia merasa memiliki pemahaman yang cukup dalam mata
pelajaran sang guru untuk sekadar naik kelas. Kejadian ini kemudian ia tulis
pada buku harian pribadinya, yang kelak diterbitkan sebagai sebuah buku yang
cukup fenomenal. Salah satu kutipan yang paling dikenal dari buku itu adalah,
“Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan
selalu benar, dan murid bukan kerbau”. Nama anak itu adalah Soe Hok Gie.
Di bangku kuliah, kelakuan
‘nakal’ Gie tidak berubah. Ia masih saja kritis, bahkan semakin menggila. Gie
terus melakukan protes-protes terhadap sesuatu yang ia anggap tidak benar.
Karena menurutnya, “mendiamkan kesalahan adalah sebuah kejahatan”. Dia bukan
anak kesayangan orde baru yang dengan mudah bilang “asal bapak senang” layaknya
mengiyakan apa mau dosen hanya demi nilai.
Pernah saat ia menjabat sebagai
pimpinan eksekutif mahasiswa di fakultasnya, Gie pernah membuat geger pihak
dekanat dengan memajang daftar nama dosen yang bermasalah. Nama-nama ini Ia
peroleh lewat survei yang ia lakukan terhadap mahasiswa dengan bahasan, kinerja
dosen di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI).
Bagi Gie, “Hanya mereka yang
berani menuntut haknya, pantas diberikan keadilan. Kalau mahasiswa Indonesia
tidak berani menuntut haknya, biarlah mereka ditindas sampai akhir zaman oleh
dosen-dosen korup mereka.”
Bahkan, saat menjadi dosen di
fakultas tersebut, Gie secara blak-blakan mengungkap dosen yang membolos 50%
dari jatah jam kuliahnya. Bahkan ada dosen menugaskan mahasiswa menerjemahkan
buku. Oleh dosen itu, hasil terjemahan mahasiswanya digunakan sebagai bahan
pengajaran. Karena sang dosen rupanya tak cakap berbahasa Inggris. Sungguh mati
mahasiswa yang tak berani melawan.
***
Kini, banyak yang bilang zaman
sudah berbeda. Ini bukan tahun 60-an, zaman Gie hidup. Internet sudah mengubah
kondisi dunia begitu rupa. Menjadi aktivis pun sudah tak lagi digandrungi
karena orang-orang lebih suka JKT48. Biaya kuliah semakin mahal. Namun dari
semua perubahan itu, masih banyak juga yang tidak berubah. Para pengajar yang
korup salah satunya.
Di masa-masa awal semester,
biasanya perkuliahan dimulai dengan kontrak belajar. Di situ, dibahas
indikator-indikator yang menentukan kelulusan. Di situ juga dibahas berapa kali
mahasiswa diperbolehkan tidak hadir perkuliahan, jika lebih tentu tidak
diizinkan untuk melanjutkan perkuliahan. Semuanya dibahas. “Lebih dari tiga
kali tidak hadir, anda tidak boleh ikut UAS.”
Namun dari semua kontrak itu,
jarang sekali dibahas hal-hal yang harus dosen lakukan. Tidak pernah ada dalam
kontrak misalnya, jika dosen tidak hadir lebih dari tiga kali, maka dosen tidak
boleh mengadakan UAS. Atau, jika dosen terlambat lebih 15 menit, maka dosen
tidak boleh memberi perkuliahan. Hal-hal seperti itu, biasanya jarang terjadi.
Bukan cuma dosen yang jarang
masuk dan sering telat, ada juga dosen yang sepanjang mata kuliah cuma
membebankan tugas, menyuruh mahasiswnya hanya berdiskusi, kemudian memberi
mereka nilai. Belum lagi dosen-dosen yang mengganti jadwal kuliah dengan alasan
sibuk. Memangnya cuma dosen saja yang punya aktivitas lain.
Memang, tidak semua dosen berlaku
seperti itu. Ada juga dosen yang taat mengajar. Tapi jangan lupakan keberadaan
dosen-dosen korup macam tadi. Ingat, karena nila setitik, rusak susu
sebelangga. Jadi, jangan salahkan mahasiswa menggosip di belakang jika masih
ada dosen yang korup.
Permasalahannya, pihak kampus
masih saja alpa dengan hal-hal seperti ini. Ketimbang memperbaiki kualitas
dosen, kampus lebih suka menggenjot International Organization for
Standardization (ISO) kampus agar masuk jajaran kampus kelas dunia.
Ya, zaman
memang sudah berubah. Sudah sangat jarang —atau bahkan tak ada— mahasiswa macam
Gie yang berani menentang dosen. Kebanyakan mahasiswa lebih suka manut agar
bisa lulus ketimbang mengomentari
pendapat dosen dan tidak lagi diperbolehkan masuk kelas. Ingat, sekarang kuliah
cuma dibatasi 5 tahun, Soe Hok Gie enak boleh lulus 7 tahun.
Jadi, bagi
mahasiswa yang lebih suka manut sama dosen, ada baiknya tidak banyak
bisik-bisik di belakang dosen. Selain karena ngegosipin orang itu tidak
diperbolehkan Nabi Muhammad, bergunjing juga tidak akan menyelesaikan masalah.
Yang ada dapat dosa. Ingatlah, hanya orang yang berani menyatakan perasaan yang
bisa jadian. Dan hanya mereka yang berani menuntut haknyalah, yang pantas diberikan
keadilan.
*Penulis
adalah mahasiswa akhir yang tak kunjung lulus