Setiap 20 Mei, Indonesia selalu
merayakan Hari Kebangkitan Nasional, sebagai wujud apresiasi atau penghargaan
terhadap sejarah. Bahwa pada hari itu, ada sekelompok anak bangsa yang
berhasil melakukan spirit untuk melawan dan bangkit dari penjajahan, yaitu
upaya lepas dari terbelenggu imperialisme.
Dalam konteks kekinian, semangat di Hari
Kebangkitan Nasional masih tetap utuh, meski dengan dimensi yang berbeda.
Artinya pemaknaan terhadap Hari Kebangkitan Nasional bukanlah sesuatu yang
statis, tetapi bergerak secara fleksibel mungkin karna pergeserakan zaman. Jika dulu, bangsa kita harus bangkit dari
jeratan rantai kolonialisme, maka saat ini, kita harus bangkit dari
berbagai masalah bangsa yang tak kalah menyengsarakan.
Bangsa ini harus bangkit dari keterpurukan
ekonomi, keluar dari keadaan hukum yang memprihatinkan, merubah sistem politik
yang hanya power oriented, jaga dari rong negara lain melalui dunia
baru bernama globalisasi, dan berbagai keterpurukan yang menghiasi berbagai
sisi kehidupan bangsa ini.
Namun, yang krusial dalam konteks Hari
Kebangkitan Nasional ini adalah kebangkitan pemuda. Para kaum muda harus
kembali pada khittah-nya sebagai agen of change,
sekaligus pembuka jalan menuju kesejahteraan rakyat.
Mereka tak boleh berhenti mengabdi dengan
cara menjaga jati diri bangsa, harus tampil di depan untuk mengubah
keadaan serta di saat yang bersamaan melakukan pengabdian pada bangsa dengan
menjadi intelektual muda yang mempunyai militansi perjuangan, meski
dengan bidang yang berbeda-beda.
Kepemimpinan ketujuh Indonesia ini, di bawah Presiden Joko Widodo, banyak kebijakan yang keluar dari akad awal, dimana
kepentingan rakyat harus didahulukan daripada hal yang lain, nyatanya malah
berbalik sembilan puluh derajat.
Tahun lalu, tepatnya setelah dicabutnya
subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis premium oleh pemerintahan Joko Widodo,
berimbas begitu terasa pada saat ini, mulai dari naiknya semua bahan kebutuhan
yang meresahkan terhadap masyarakat, kususnya masyarakat kalangan menegah ke
bawah.
Namun, pemerintah berdalih bahwa pencabutan
subsidi BBM untuk mengurangi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN). Pelepasan subsidi tujuannya untuk menyelaraskan visi-misi presiden
yaitu, lebih condong terhadap pemerataan infrastruktur di setiap daerah
tertinggal biar lebih mapan. Salah satunya adalah pembuatan tol laut dan dua
jalur kereta api. Lantaran dengan meratanya infrastruktur akan memotong biaya
logistik menjadi lebih murah.
Lantas, apakah dengan pencabutan subsidi BBM akan menyelesaikan
semua permasalahan, tapi nyatanya, kenapa penjualan minyak dan gas (migas) bumi
pertiwi dijual murah ke Cina, ini berbanding terbalik dengan keputusan presiden
untuk mengefisiensi APBN. Apa mungkin ada dalang lain dibalik ini semua.
Masalah lain, mengenai penambangan yang
dilakukan oleh perusahan freeport misalnya, perusahaan asal Amerika ini sudah
banyak mengeruk kekayaan alam Indonesia mulai tahun1967 sampai sekarang,
nyatanya dalam hal ini sangat merugikan terhadap Indonesia, dimana mendapat
keuntungan 1 persen dari jumlah 100 persen. Parahnya lagi negosiasi kontrak
penambangan emas ini malah diperpanjang sampai tahun 2041, kendati
perjanjiannya awal habis di tahun 2021.
Belakangan ini, timbulah permasalahan baru,
dimana Joko Widodo melakukan investasi besar terhadap milioner asing, ini
menunjukkan secara tidak langsung kembalinya penjajahan baru yang tidak nampak
secara kasat mata. Investasi akbar ini lebih tepatnya disebut
neoriberalisme dimana lebih cendrung menguntungkan terhadap suatu kelompok,
paham ekonomi neoliberal ini mengacu pada filosofi ekonomi-politik yang
mengurangi atau menolak campur tangan pemerintah dalam ekonomi domestik.
Neoliberalisme bertolak belakang dengan sosialisme dan proteksionisme. Secara domestik, ini tidak langsung berlawanan secara prinsip dengan
poteksionisme, tetapi terkadang menggunakan ini sebagai alat tawar untuk
membujuk negara lain untuk membuka pasarnya.
Kembali lagi, sebelum Hari Kebangkitan
Nasional, ada beberapa aliansi yang tergabung dalam Badan Esekutif Mahasiswa
(BEM) Seluruh Indonesia (SI), yaitu Univesitas Indonesia, Universitas Gadjah
Mada, Universitas Parahyangan, Universitas Padjadjaran, Universitas Trisakti,
dan Universitas Atmajaya, akan melakukan aksi damai yaitu berjalan dari tugu
patung kuda sampai depan gedung Istana Negara.
Aliansi BEM SI sepakat mengurungkan
niat berunjuk rasa pada 20 Mei, karana melihat pada hari itu tidak kondusif dan
terkait isu penyusupan agenda untuk menurunkan presiden, karena terlalu dini
untuk mengeluarkan tentang hal ini (melengserkan presiden), beda dengan
pergerakan tragedi 98 dan 66, tidak menginginkan gerakan mahasiswa dikaitkan
dengan turunnya rezim.
Namun dalam hal ini BEM SI akan tetap
melakukan aksi dalam bentuk damai, dengan menuntut janji-janji Joko
Widodo yang dinilai tidak bejus dalam menghadapi masalah hukum yang tajam ke
bawahdan tumpul ke atas, masalah kesehatan, ekonomi, dan mencabut mekanisme BBM
yang mengikuti pasar dunia.
Hal ini berbeda pradigma untuk mahasiswa UIN
Jakarta yang lebih cenderung terhadap penurunan Joko Widodo, karana
pemerintahan saat ini sudah keluar dari garis sebelumnya, yaitu pro rakyat
kecil, tapi malah sebaliknya.
Melihat realita saat ini, jadi pantaslah
semua mahasiswa khususnya UIN Jakarta melakukan unjuk rasa akbar yang melibatkan
ratusan mahasiswa di Hari Kebangkitan Nasional dan ini menunjukkan sikap tidak
apatisnya mahasiswa, selama ini dalam mengoreksi terhadap jalannya pemirintahan
dibawah Presiden Joko Widodo.
Nur Kholis Swandi mahasiswa UIN Jakarta
menambahkan, penting bagi mahasiswa untuk melalakukan orasi, mengeluarkan
suaranya di depan Istana Negara, lantaranpemerintahan sekarang tidak
mendahulukan terhadap hajat rakyat dan sudah melenceng terhadap ikrarnya ketika
dilantik sebelum menjadi Presiden.
Hari Kebangkitan Nasional adalah momen yang pas untuk melupkan kritikan
terhadap pemerintahan, menagih janji manis yang disampaikan sebelumnya.
Semoga dengan orasi yang dilakukan oleh mahasiswa menjadi catatan pemerintahan
demi kebaikan kita bersama di hari esok.
*Penulis adalah mahasiswa Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin, UIN Jakarta
*Penulis adalah mahasiswa Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin, UIN Jakarta