![]() |
Sumber: Internet |
Judul : Perempuan di Titik Nol
Penulis : Nawal El-Sadawi
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia
Isi : 157 Halaman
Terbit : 1989
ISBN : 979-461-040-2
“Seorang pelacur yang
sukses lebih baik dari seorang suci yang sesat. Semua perempuan adalah korban
penipuan. Lelaki memaksakan penipuan pada perempuan, dan kemudian menghukum
mereka karena telah tertipu, menindas mereka ke tingkat terbawah, danmenghukum
mereka karena telah jatuh begitu rendah, mengikat mereka dalam perkawinan,dan
menghukum mereka dengan kerja kasar sepanjang umur mereka, atau menghantam mereka
dengan penghinaan, atau dengan pukulan.”
Jika kita membaca sekilas paragraf
tersebut, mungkin sebagian dari kita akan berteriak tidak setuju. Dilihat
dari segi apapun, bagi sebagian orang, pelacur tetap tidak ada baiknya. Pelacur
tetap diidentikkan dengan perempuan hina nan kotor.
Namun, pandangan kita akan pelacur
akan berbeda karena kutipan di atas diucapkan oleh seorang perempuan yang
bernasib kurang beruntung, Firdaus namanya. Sejak kecil, ia sudah dikenalkan
dengan nasib buruk yang tidak ada hentinya. Mulai dari kelaparan, perlakuan
kasar dari sang ayah, hingga pengalaman seksual yang dilakukan orang
terdekatnya, pamannya sendiri.
Firdaus adalah perempuan Mesir yang
hidup di era 1970-an. Di usianya yang menginjak masa remaja, ia harus merelakan
hidupnya menjadi budak pemuas bagi kaum laki-laki. Melalui sudut pandangnya,
Firdaus mengungkap sosok laki-laki Mesir. Kebanyakan dari mereka tidak
mencerminkan diri mereka sebagai pemimpin. Padahal, pada masa itu, kaum
laki-laki mendominasi menguasai negara dan perempuan. Terlebih, kaum laki-laki
Mesir paham akan ajaran Islam.
Melalui buku ini, penulis ingin
mengungkapkan kebobrokan kaum patriak. Penulis juga mengingatkan kita sebagai
pembaca agar membuka mata lebar-lebar bahwa meskipun ajaran Islam sudah
disyiarkan di Mesir. Sayangnya, meski telah mengalami modernisasi, masih
ada perempuan di Mesir yang belum diperlakukan sebagaimana seharusnya yang
diajarkan Islam.
Hal itu karena ketidakpahaman
seorang perempuan terhadap hak dan kewajibannya sebagai perempuan muslim.
Seharusnya, sebagai perempuan tidak baik jika kita hanya menuntut hak-hak kita
terpenuhi, tetapi lebih bodoh jika kita hanya menjalankan kewajiban-kewajiban tanpa
mengetahui hak.
Dalam bukunya,
Nawal El-Sadawi juga menyadarkan
kita tentang kekurangan dan ketidakadilan yang masih menimpa hak-hak dan
kedudukan perempuan. Khususnya di negeri kita dalam masyarakat sekarang.
Meski telah dikemas dengan metafora yang indah dan bahasa
yang mudah dimengerti, buku setebal 157 halaman ini tidak terlalu kaya diksi.
Padahal, buku ini adalah buku terjemahan yang bisa dituangkan dalam Bahasa
Indonesia dengan diksi berbeda tanpa mengubah makna.
Arini Nurfadilah