![]() |
Ilustrasi (Sumber: Internet) |
Hasil audit BKD oleh Itjen
Kemenag menyatakan sebagian guru besar UIN Jakarta tidak memenuhi beban
kerjanya. Kesibukan di luar kampus banyak jadi alasan.
“Lebih inget
nama asisten dosennya dari pada guru besarnya,” ujar Dedeh Herlinawati saat
ditanya nama guru besar mata kuliahnya di semester satu, dua tahun lalu.
“Soalnya yang (banyak) ngajar asisten dosen (asdos). Penentuan materi
juga asdos,” lanjut mahasiswi semester
empat Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) ini, Sabtu (25/4).
Dedeh ingat
betul, kala itu, guru besar FITK yang mengampu salah satu mata kuliahnya hanya
masuk tiga kali dari total 16 kali pertemuan. “Seingat aku, hari pertama dia
masuk. Pas ujian, masuk. Bagiin soal. Terus ngumpulin sama
asdosnya,” ingatnya.
Tak berbeda
dengan Reki Prasetyo. Mahasiswa semester empat Fakultas Syariah dan Hukum (FSH)
ini merasa kehadiran asdos lebih sering ketimbang beberapa guru besar yang
menjadi pengampu dosen mata kuliah di kelasnya.
Reki ingat,
tak lebih tiga kali, guru besar memberi mata kuliah di kelasnya. Sisanya, asdos
yang aktif masuk. “30% lah,” Reki memperkirakan presentasi kehadiran guru besar
yang jarang masuk itu, (Sabtu (25/4).
Mengacu pada
Peraturan Rektor tentang Pedoman Pengaturan Beban Kerja Dosen (BKD) Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013 pasal 15 tentang
Asistensi, mengatur bahwa asistensi merupakan proses bimbingan mengajar oleh
guru besar terhadap dosen-dosen muda. Namun, dalam praktiknya, tak sedikit
kehadiran asdos di kelas lebih banyak ketimbang guru besar yang menjadi
pengampu utama mata kuliah.
Tak ayal,
kehadiran tim audit Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Agama (Kemenag)
awal Maret lalu, cukup membuat kalang kabut civitas akademika UIN
Jakarta. Tak hanya dosen yang jadi incaran, guru besar pun tak luput dari
bidikan. Konon, tak sedikit guru besar UIN Jakarta yang tidak memenuhi beban
kerjanya sebagai guru besar.
Ditemui di
ruangannya, Kepala Sub Bagian Pengelolaan Hasil Pengawasan Internal, Kamalul Iman
Billah bergeming saat dimintai angka pasti guru besar UIN Jakarta yang
bermasalah. “Itu rahasia. Lagipula Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP)nya juga
belum selesai,” ujarnya, Selasa (14/4). Namun, Kamal membenarkan sebagian guru
besar UIN Jakarta bermasalah.
Sementara
itu, Kepala Pusat Audit dan Pengendalian Mutu, Lembaga Penjaminan Mutu (LPM)
UIN Jakarta, Salamah Agung menyebutkan, berdasarkan hasil sementara audit Itjen
Kemenag yang diterima LPM, dari total 63
guru besar di UIN Jakarta, hanya satu
guru besar yang
bermasalah. Namun, angka itu tidak menutup kemungkinan berubah karena
Itjen Kemenag belum menyerahkan hasil akhir audit.
Minimnya
kehadiran guru besar mengajar di S1 hanya satu dari sebagian kasus guru besar
yang mengemuka selama proses audit BKD.
Selain kasus itu, produktivitas di bidang penulisan buku, penelitian, dan
penyebarluasan gagasan turut jadi perbincangan hangat civitas akademika UIN
Jakarta.
Wakil
Rektor Bidang Akademik, Fadhilah Suralaga menyadari minimnya produktivitas
menulis buku, penelitian, maupun menyebarluaskan gagasan di kalangan guru besar
UIN Jakarta. Padahal, tiga aspek itu menjadi kewajiban bagi guru besar di
setiap perguruan tinggi. Terlebih, UIN Jakarta kini tengah berbenah menuju world
class university. “Mungkin (produktivitas) hanya sekitar 30%,” ujar
Fadhilah, saat ditemui di ruangannya,
Selasa (22/4).
Beban guru
besar mendorong peningkatan akademik
memang tak seperti dosen pada umumnya. Dalam buku Pedoman Beban Kerja Dosen dan
Evaluasi Pelaksanaan Tridarma Perguruan Tinggi yang diterbitkan Direktorat
Perguruan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional tahun 2010, beban guru besar
meliputi tiga aspek; menulis buku,
menulis karya ilmiah, dan
menyebarkanluaskan gagasan untuk mencerahkan
masyarakat.
Untuk
memenuhi tiga tugas itu, setiap guru besar diberi waktu tiga tahun. Karenanya,
setiap tiga tahun, tim assessor akan meminta buku, hasil penelitian, atau
penyebarluasan gagasan sebagai bukti
pemenuhan beban kerja guru besar. Waktu tiga tahun terhitung sejak pengangkatan
seorang guru besar.
Sejak
diangkat menjadi guru besar di Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) pada 2002,
Fathurrahaman Rauf, hingga kini telah menulis dua buku. Profesor di bidang
Sastra Arab ini mengaku tak memiliki waktu banyak untuk menulis. “Yang susah
itu waktunya,” katanya.
Kini,
kesibukan Rauf hanya mengajar di Jurusan Bahasa dan Sastra Arab FAH setiap hari
Senin, Rabu, Kamis. Rencananya, Rauf akan menulis beberapa buku lagi sebelum
pensiun di umurnya yang ke-70. “Saya enggak tahu berapa (buku),” katanya.
Berbeda
dengan Rauf. Sejak diangkat menjadi guru besar Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi (FIDIKOM), Yunan Yusuf, telah menulis sembilan buku. Selain itu, di
sela-sela kesibukannya mengajar, ia juga menjadi assessor di Badan
Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT).
Yunan juga
tengah menyelesaikan tafsir Al-quran yang sudah digelutinya sejak 2010. Juz 26 tengah digarap. Guru besar
bidang pemikiran Islam itu juga tengah menulis tiga buku di bidang filsafat
Islam, tasawuf, dan dakwah Rasulullah. Dalam menulis, Yunan katanya biasa
bangun pada pukul 3.00 dini hari sampai subuh. “Menulis kalau tidak terbiasa,
susah.” Katanya.
Kontribusi
guru besar untuk memajukan perguruan tinggi memang penting. Untuk itu, Fadhilah
menuturkan, saat ini pihak akademik memperbanyak jumlah guru besar di UIN
Jakarta. “Paling tidak nambah satulah setiap tahun,” katanya.
Thohirin