![]() |
Sumber: Internet |
Oleh : Uus Mustar*
Ia menatap saya. Sorot matanya
begitu tajam. Semakin menajam. Saya hanya terdiam. Hening memang paling pandai
menyelinap, ia merasuki setiap pori-pori kulit kami, saya dan dia. Tak ada kata
bertautan.Tak ada kata. Diam. Hanya Diam dan terdiam, selalu saja kami mendiam
dalam nuansa hening denting jam di perpustakaan.
Saya diam. Juga dia. Tapi saya
selalu lebih setia mendiam dibanding ia. Ia tak mengerti kenapa saya terdiam.
Tak pernah. Yang pasti, walau saya bicara. Walau saya berkata. Walau saya
bercanda. Walau saya tertawa. Tetap saja saya diam. Tetap saja di mata ia saya
hanya pendiam.
Saya terdiam. Bukan membisu. Tapi
saya bisu. Dan semakin pilu acap kali mata itu, yang mulai memerah, marah. Saya
tahu ia marah kepada saya. Dan saya sangat tahu Ia bakal marah ketika lelah,
Ketika masalahnya tak kunjung terpecah. Kalau ia marah, saya hanya bisa
memasrah. Bersalah atau tidak saya di matanya, sama saja. Ia akan tetap
mencampakkan saya. Ia akan pergi begitu saja. Sial!
***
Mata itu, di balik lensa tebal,
selalu menyetia. Saya suka pemilik matanya.
Cantik. Saya mengenalnya. Pemilik
mata cantik itu bernama cantik. Mata dan pemiliknya sama-sama cantik. Nama dan
matanya cantik. Sama sama. Ia begitu setia. Hanya Ia yang mau mengenal saya
sebegitu intim. Ia memang tak lazim dari yang lain, tapi istimewa.
Saya mengenalnya sedari dulu,
ketika cantik baru duduk di bangku kuliah. Ia yang pertama kali mendekati saya.
Ia yang pertama kali menyapa saya. Ia yang pertama kali mengajak saya
bercengkrama. Tentang apa saja. Terkadang,
ia suka membicarakan cinta. Tapi seringnya ihwal materi perkuliahannya.
Sebagai remaja, ia memang suka sekali cerita romansa. Tak terhitung jumlah
cerita yang sudah saya bacakan untuknya, teramat banyak. Saking tergila-gilanya
Ia dengan cerita, ia bisa melupakan segalanya, kecuali saya. Ia akan selalu
kembali memeluk saya.
Entah kenapa, sejak semula, mata
cantik itu seolah suka menatap saya berlama-lama. Di manapun kami berjumpa. Di
taman, di jalan, di kantin, di malam, di siang, di pagi, di sore, dan di di
yang lainnya. Pokoknya dimana-mana. Saya
jatuh cinta. Atau ia yang jatuh cinta. Entah.
Ketika Ia dahaga, Haus akan
cerita. Tak segan Ia memaksa saya untuk keluar singgasana. Di taman atau dimana
saja, asal Ia suka. Ia memaksa saya untuk menemaninya.
Ia selalu menjemput saya usai jam
kuliah. Saya biasa menunggunya di perpustakaan. Tak ada alasan untuk kata
menolak. Karena memang saya tak punya alasan. Saya hanya bisa memendam diam
dalam-dalam. Itu cukup membuat Ia senang.
Barang satu
sampai tiga malam saya akan menemaninya, untuk sekedar membacakan cerita-cerita
romansa atau menjawab tugas-tugas dari dosennya. Kemudian ia mengantar kembali saya ke singgasana.
Walau tak jarang, selang sehari setelah kembali dari menemaninya, ia akan
menyeret saya lagi. ‘cerita kamu belum kelar’ begitu alasannya, selalu saja.
Lewat pertemuan-pertemuan
sederhana itulah saya mengenalnya. Dari pertanyaan-pertanyaan yang pula
sederhana, dari cerita-cerita romansa, dan dari tugas-tugas perkuliahannya.
Saya mengenal cantik dengan baik. Dan ia mengenal saya teramat baik. Kami
saling mengenal sangat baik.
Sampai detik-detik akhir ia
kuliah. Wisuda di depan mata. Hubungan kami semakin bertambah intim saja. Kami merubah pertemuan-pertemuan sederhana itu
menjadi lebih istimewa. Perpustakaan
jadi tempat favorit kami berjumpa. Di sana kami nyaman berdua. Tak ada
suara-suara gaduh yang merobek telinga. Tak ada mata-mata yang bergerilya
merazia. Di sana kami merdeka, tak ada sekat pemisah antara saya dan ia. Tak
ada. Kami leluasa bersenggama.
Perpustakaan kami pilih sebagai
tempat bersua. Untuk membebaskan semua beban kepala, mencairkan seluruh
pertanyaan yang mengendap di dasar kepala, lalu temukan jawabnya. Walau semua
itu, semua pertanyaan itu. kesemuanya akan ia tumpahkan semaunya kepada saya,
semua pertanyaan dan soal-soal itu ia tujukkan kepada saya. tak apa, saya rela.
Sungguh.
“Kamu hebat. Kamu tahu segalanya.
Dunia ada padamu.” Ia memuji. Saya hanya diam.
Kalau ia
sudah mulai merayu, kalau tanya sudah menyilet otaknya bagai sembilu, maka ia
tak segan lagi untuk segera membuka baju saya. Dan tatap mata cantiknya, dengan rona yang begitu
menggoda, perlahan tapi pasti mulai bergerilya, menjajah seluruh tubuh saya.
tatapnya begitu detail melumat huruf per huruf dari setiap lekuk sudut tubuh
saya. Ia begitu gagah dalam memecah masalah. Tak kenal kata menyerah. Walau
mata cantiknya akan tampak memerah selepasnya.
***
Cantik, gadis dengan paras cantik
si pemilik rona mata cantik. Ia tak ingin banyak membuang waktu untuk wisuda.
Skripsi adalah momok menyeramkan. Banyak diantara temannya yang tumbang
menghadapinya. “Itu karena merekanya saja yang tak mau mengenal kamu” katanya
kepada saya.
Ia mencintai saya seperti saya
mencintainya. Atas nama cinta, saya membantunya, merampungkan tugas akhir
kuliah.
Skripsi selesai. Sidang lancar.
Tinggah menanti waktu wisuda. Tapi ia sudah jarang menginjakan kakinya di
kampus. Sedih. Karena tak ada lagi kata jumpa, yang sederhana terlebih yang
istimewa. Tak ada lagi cerita romansa. Tak ada lagi cinta. Dan tak lagi bisa
kami bersenggama.
Saya terlunta. Dalam hening yang
tak mengirama. Dengan rindu tatap matanya yang manja. Pada rak di perpustakaan
yang dipenuhi debu asmara, ia mencampakkan dan meninggalkan saya begitu saja.
Ia melupakan saya.
Ciputat, 06-05-2015 : 23:32 WIB
*Mahasiswa
Bahasa dan Sastra Arab.