Nama : Muhammad Ali
Ibrahim
Panggilan : Ali
Tempat,
Tanggal Lahir: Bandung, 22 September 1994
Alamat :
Jalan Pondok Cabe Indah nomor 58 C Cipayung, Ciputat-Tangerang Selatan
Jurusan :
Bahasa dan Sastra Inggris, konsentrasi Literature
Semester : 6 (enam)
Fakultas
: Adab dan Humaniora
Riwayat
Pendidikan : SD Madrasah Pembangunan UIN
Jakarta
:
MTs Pondok Pesantren Darun Najah
:
MA Pondok Pesantren Darun Najah
Usaha yang keras pasti akan
membuahkan hasil yang manis. Prinsip itu disimbolkan dalam olahraga beladiri,
tapak suci.
Tepat pada 31 Juli 1963 di
Kauman, Yogyakarta, tapak suci lahir dan berkembang di seluruh Nusantara.
Mempelajari seni beladiri berarti ikut melestarikan budaya Indonesia. Demikian
tergambar dalam keseharian laki-laki kelahiran Bandung, 21 tahun silam,
Muhammad Ali Ibrahim. Kesetiaannya pada olahraga beladiri membuat Ali,
panggilannya, tetap menjaga dan melestarikan olahraga asal Indonesia ini.
Sejak tercatat sebagai atlet beladiri
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta di tahun 2012, Ali
selalu meluangkan waktu untuk meningkatkan kemampuannya dengan berlatih. Selain
itu, ia pun menjalankan rutinitasnya dengan mengajarkan beladiri di dalam dan
luar kampus.
Kegiatan tapak suci di UIN
Jakarta, cerita Ali, sempat vakum selama dua tahun. Seiring berjalannya waktu,
Ali merintis kembali tapak suci di kampus ini juga membimbing anggota-anggota
baru untuk menjadi Tim Silat UIN Jakarta.
Mahasiswa
Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris ini mengaku, keahliannya dalam bersilat
berawal dari kegiatan ekstrakurikuler beladiri yang ia ikuti di Pondok
Pesantren Darun Najah. Siapa sangka, konsistensinya menuai hasil. Terbukti
hingga kini, Ali berhasil menjuarai berbagai event bergengsi, salah
satunya peringkat pertama dalam Pekan Olahraga Mahasiswa Daerah Keistimewaan
Indonesia (DKI) Jakarta cabang beladiri 2012 lalu.
Pengalaman pertama Ali di ajang
beladiri terekam dalam perlombaan silat antar pelajar se-Jakarta Selatan (Jaksel)
tahun 2007. Dalam acara itu, ia berhasil dinobatkan sebagai pemenang pertama.
Dari situ pula Ali mendapat banyak kesempatan untuk mengikuti beragam event.
Tahun 2011 menjadi tahun
kebanggaan bagi kader muda tapak suci ini karena ia terpilih sebagai pesilat
terbaik DKI Jakarta kategori dewasa. Padahal, kala itu, usianya baru menginjak
16 tahun. “Itu adalah momen paling berkesan, karena seorang remaja bisa menang
di kejuaraan dewasa,” kenang Ali sambil tersenyum, Selasa (14/4).
Kemenangan Ali kali ini
mengurangi beban orang tuanya, karena tropi yang ia terima dari ajang pemilihan
pesilat terbaik DKI Jakarta. Setelah berprestasi di tingkat nasional, Ali
berhasil menjuarai International Open tahun 2012 di Malang, Jawa Timur.
Sebenarnya, bukan hanya tapak
suci olahraga yang pernah ia geluti, saat duduk di bangku Sekolah Dasar (SD),
Ali sempat mengikuti taekwondo. Namun, ketidakyakinan membuatnya berhenti
melanjutkan beladiri asal Korea tersebut.
Beladiri, bagi Ali, sudah menyatu
dalam jiwanya. Sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), dia sudah
belajar teknik olahraga tangan kosong ini. Passion beladiri dalam tubuh
Ali mengalir saat ia berusia 10 tahun.
Sejauh ini,
Ali tidak merasa kesulitan memahami tapak suci. Ia yakin, keseriusannya dalam
belajar sejak kecil hingga berguru pada para pelatih tidak akan sia-sia. Saiful
Anwar dan Anwar Hasan merupakan dua di antara pelatih-pelatih silat terbaik
bagi Ali, khususnya untuk bidang tapak suci.
Kepiawaian
Ali dalam memainkan teknik-teknik beladiri membuatnya seringkali terpilih
menjadi perwakilan Tim Silat UIN Jakarta, seperti pada Pekan Ilmiah Olahraga,
Seni, dan Riset (Pionir) dan Epicentrum. Tak jarang pula pihak sekolah
memintanya untuk menjadi pelatih bagi murid SD hingga Sekolah Menengah Atas
(SMA).
Menurut Ali, atlet beladiri bisa
lihai menggunakan teknik-teknik seni tangan kosong meskipun tidak memiliki
darah keturunan beladiri. Keseriusan seseorang dalam mempelajari beladiri
menjadi kuncinya. “Bakat bukan segalanya, tapi semangat dan niat untuk belajar
menjadi yang utama,” tutupnya.
Arini Nurfadilah