![]() |
(Sumber: Internet) |
Oleh:
Arini Nurfadilah*
Baru-baru ini, tepatnya
28 Maret 2015, Tanah Air kembali dikejutkan oleh kebijakan pemerintah tentang
kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis premium. Presiden menaikkan harga
BBM sebesar Rp500 dari Rp6.800 per liter menjadi Rp7.300 per liter. Ini bukan
kali pertama Presiden Joko Widodo menaikkan harga BBM karena sebelumnya sempat
berubah pada 2014 silam.
Kenaikan harga
BBM sangat disayangkan, mengingat perubahan peran Indonesia sebagai salah satu penghasil minyak dunia telah berubah menjadi pengimpor minyak. Hal ini terjadi karena tiap tahun produksi minyak
Indonesia semakin berkurang, sedangkan pemakaian semakin bertambah. Seperti
dilansir dari tempo.co bahwa konsumsi
minyak Indonesia defisit 150 juta barel per tahun.
Sejauh ini, pemerintah harus
mengeluarkan dana subsidi BBM yang diambil dari Anggaran Pendapatan Belanja
Negara (APBN) agar masyarakat dapat membeli
BBM dengan murah. Tetapi, naiknya harga minyak dunia membuat pemerintah
tidak dapat menjual BBM kepada masyarakat dengan harga normal karena dapat menyebabkan pengeluaran APBN
untuk subsidi BBM semakin tinggi.
Kenaikan harga
BBM berdampak bagi masyarakat, khususnya golongan ekonomi menengah ke bawah.
Fenomena ini pun merugikan masyarakat yang sering menggunakan angkutan umum
karena tarif angkutan yang melonjak seiring perubahan harga BBM.
Pasalnya, tarif
angkutan umum akan naik jika harga BBM naik, begitu pun sebaliknya. Akan
tetapi, para supir angkutan umum tidak menerapkan prinsip tersebut. Kebanyakan
dari mereka menaikkan tarif tanpa mempertimbangkan fluktuasi harga BBM.
Memang,
kenaikan harga BBM bukan menjadi hal mustahil di tengah inflasi tinggi dan nilai tukar rupiah yang lemah. Hanya
saja, kebijakan mengenai kenaikan harga BBM diambil dalam waktu singkat dan
frekuensi yang sering, sehingga menimbulkan ketidakstabilan ekonomi nasional.
Adanya
kebijakan terkait harga BBM juga memicu penolakan masyarakat, terutama para
mahasiswa. Mereka menyambut kebijakan ini dengan demonstrasi yang menimbulkan
ricuh dimana-mana.
Harusnya, pemerintah mempertimbangkan
keadaan bangsa dengan memperhitungkan kebijakan yang diambil dan memerhatikan
perencaaan yang telah dibuat sebelumnya, tidak plin-plan dengan kebijakan harga BBM. Selain itu, pemerintah perlu
membuat peraturan tentang keseragaman tarif angkutan yang sesuai dengan
perubahan harga BBM.
Untuk menghindari kenaikan harga
BBM, pemerintah pun perlu menggantikan peran BBM menjadi Bahan Bakar Gas (BBG).
Meskipun BBG sudah ramai di pasaran Indonesia, namun masih jarang penduduk
Indonesia yang memakainya. Dari itu, pemerintah harus menggiatkan lagi
penggunaan BBG dengan memperbanyak Stasiun Pengisi Bahan Bakar Gas (SPBG).
Di satu sisi, BBG memang belum bisa menggantikan
peran BBM sepenuhnya, namun di sisi lain, setidaknya bisa menjadi alternatif
bahan bakar kendaraan di Indonesia. Sehingga BBM bukan jadi satu-satunya bahan
bakar kendaraan bermotor.
*Penulis
adalah mahasiswa semester 6, jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, FAH, UIN
Jakarta