![]() |
Ilustrasi. (Sumber: Internet) |
Oleh: Rizqi
Jong*
Minggu lalu, tiba-tiba dapat broadcast BBM yang isinya link
Surat Terbuka untuk Rektor UIN Jakarta dari Pak Oman-Mantan Dekan Fakultas Adab
dan Humaniora (FAH). Jujur, saat pertama kali membaca, saya mengapresiasi keberanian Pak Oman untuk
membuat surat secara terbuka. Bahasanya renyah, ringan, dan sangat mudah dimengerti.
Tak ada satu kalimat pun yang sukar dipahami.
Bukan Pak Oman namanya jika tulisanya tidak enak dibaca, wajar jika
banyak orang menobatkan dia sebagai pakar filologi alias orang yang paham soal
ilmu bahasa dalam sumber-sumber sejarah yang ditulis, atau orang yang paham
terkait kritik sastra, sejarah, dan lingu
istik.
Setelah membaca surat terbuka dengan saksama dan tanpa melewati satu
kata pun dari apa yang Pak Oman tulis (kalau dijumlah ada 2111 kata), saya
penasaran. Hingga akhirnya berangkat dari pertanyaan kenapa Pak Oman dengan
beraninya membuat surat terbuka, bahkan sempat muncul isu di permukaan akan
adanya aksi protes seluruh jajaran dekanat dan mahasiswa FAH kepada rektor.
Dalam surat itu ada kesan bahwa Pak Oman merasa tidak terima dengan
pemberhentian jabatan sebagai Dekan FAH. “Jujur saya sedih! Bukan karena saya
kehilangan jabatan dekan itu, tapi karena Bapak tidak menyapa saya satu huruf,
pun terkait pemberhentian itu, baik melaui SMS, email, telpon, apalagi sapaan
langsung saat saya beberapa kali menemui dan menghadap Bapak, padahal saya
mendapatkan amanah jabatan ini melalui cara terhormat,” tulis Pak Oman.
Di sini saya menilai Pak Oman ingin sekali disapa oleh rektor. Meski ia
sendiri paham bahwa jika mengacu pada statuta UIN, rektor punya hak prerogatif
dalam memilih dekan. Ini perkara komuniksi saja Pak, bukankah ini bisa
diselesaikan lewat duduk bareng, saya yakin kok Pak rektor
bakal menerima Bapak. Apalagi Bapak
sebelumnya menjabat sebagai dekan.
Kurang etis rasanya jika persoalan miskomunikasi Bapak dengan rektor diungkap
secara terbuka. Kesannya Bapak ingin semua sivitas akademik UIN tahu bahwa
rektor tak menyapa Bapak.
Kemudian dalam surat yang Bapak tulis, Bapak meragukan kapabilitas dekan
yang saat ini terpilih menggantikan Bapak. Sempat dalam benak saya muncul
pertanyaan ‘emangnya Bapak doang yang punya kapabilitas?’. Tak baik Pak
meragukan kemampuan sese orang apalagi Dekan FAH saat ini merupakan sahabat
Bapak. Kita semua tidak tahu, bisa saja orang yang Bapak ragukan itu ternyata
berhasil dalam membangun FAH. Toh, hastag #TerimakasiPakOman, menurut
saya bukan sebagai tolok ukur keberhasilan Bapak.
Jika saya boleh berpesan kepada Bapak, alangkah baiknya jika Bapak
berdoa dan gotong-royong bersama jika bapak masih punya niatan baik ingin
memajukan FAH. Saya yakin kok Pak, jika Bapak ikhlas menerima keputusan
ini dan masih punya niatan baik, segala usulan dan masukan dari Bapak pasti
diterima oleh dekan FAH saat ini.
Buat Pak Rektor, Bapak sebagai pimpinan universitas seharusnya paham
bagaimana berkomikasi dengan baik. Apalagi Bapak sebagai profesor, menyapa
bawahan (dekan) tidak akan menjatuhkan kewibawaan Bapak kok. Justru
semakin sering Bapak menyapa bawahan nama baik Bapak justru terangkat dan bapak
semakin disegani. Tak perlulah Bapak belajar komunikasi lagi dengan Pak Gun Gun
Heryanto soal komunikasi yang baik.
Pak Rektor di sini adalah panutan buat sivitas akademika UIN Jakarta.
Bijaklah dalam mengambil keputusan. Bukankah Bapak sendiri sudah menulis buku
‘paradigma pendidikan demokratis’ yang mengkaji soal kontribusi pemikiran
konsepsional akademis, teoritis, dan bahkan menyentuh dimensi praktiknya dengan
harapan dapat dijadikan rujukan dalam pengembangan lembaga pendidikan secara
demokratis. Buku itu bagus loh Pak, tapi akan lebih bagus jika hasil
kajian Bapak benar-benar diterapkan di kampus tercinta ini. Sekali lagi saya
menekankan, bijaklah dalam mengambil keputusan Pak.
Terus terang, surat terbuka dari Pak Oman telah membuka lembar keraguan
saya atau mungkin kami sebagai mahasiswa terhadap Pak Rektor. Jangan sampai
kebijakan-kebijakan Bapak ke depan hanya untuk kepentingan pribadi ataupun
kelompok tertentu saja. Bapak harus ingat bahwa UIN Jakarta berdiri di
atas semua golongan. Terakhir, demi kebaikan bersama saya ingin
menyarankan buat Pak Rektor agar Statuta UIN yang baru dikaji ulang supaya
tidak terjadi salah penafsiran.
*Penulis
adalah mahasiswa UIN Jakarta