Ujian sertikasi kompetensi. (Sumber: Internet) |
Dalam
mempersiapkan diri menghadapi dunia kerja, mahasiswa mestinya dibekali
sertifikat kompetensi. Namun, penyediaan sertifikat kompetensi di Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta belum menyeluruh.
Menurut Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 61 ayat 1 tentang Sistem
Pendidikan, sertifikat yang diberikan lembaga pendidikan berupa ijazah dan
sertifikat kompetensi. Sertikat kompetensi tersebut berguna sebagai pengakuan
kompetensi tenaga kerja dalam profesi tertentu.
Hal tersebut dirasa perlu oleh Chairul Annas, mahasiswa Fakultas
Syariah dan Hukum. Menurutnya, tak adanya sertifikasi kompetensi membuat
mahasiswa yang baru lulus sulit mencari pekerjaan. “Apalagi akhir tahun ini
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan dimulai,“ kata ketua Lingkar Studi Ekonomi
Syariah itu. Nantinya, Sumber Daya Manusia (SDM) di Indonesia akan bersaing
dengan SDM dari luar negeri karena arus perdagangan barang dan jasa menjadi
bebas.
Lain Annas, lain Fakhri Muhammad Kartanegara. Mahasiswa Program Studi
Pendidikan Dokter (PSPD) Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) itu
mengatakan, PSPD UIN Jakarta saat ini telah memfasilitasi sertifikasi
kompetensi usai mahasiswa melaksanakan Uji Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI)
yang diadakan bersama Ikatan Dokter Indonesia dan Asosiasi Institusi Pendidikan
Kedokteran Indonesia.
UKDI dilaksanakan setelah pendidikan praklinik dan klinik. Ujian UKDI
berupa tes tulis dan Objective Structure Clinical Examination (OSCE).
“Sertifikat kompetensi profesi diberikan saat wisuda. Meski sudah ada
sertifikat itu, lulusan kedokteran masih belum bisa praktik karena membutuhkan
surat izin praktik lagi,” katanya, Jumat (20/3).
Kondisi tersebut diakui oleh Wakil Dekan I Bidang Akademik Fakultas
Sains dan Teknologi (FST), Lily Suaraya. Ia mengatakan, UIN Jakarta baru
menerbitkan sertifikat kompetensi untuk beberapa jurusan saja. “Saya melihat
mahasiswa memiliki kemampuan yang baik, tetapi kampus belum melek untuk
sertifikasi kompetensi,” jelas Lily saat ditemui di ruangannya, Rabu (18/3).
Dari empat jurusan FST, dua di antaranya yaitu Teknik Informatika (TI)
dan Sistem Informasi (SI) sudah bekerja sama dengan salah satu Lembaga
Sertifikasi Profesi (LSP) untuk mengadakan sertifikasi kompetensi. Sedangkan,
dua jurusan lainnya, Agribisnis dan MIPA, belum disertifikasi kompetensi karena
dinilai belum siap. Dana yang dibutuhkan, katanya, juga akan dibebankan pada
biaya semester mahasiswa. Namun, jika universitas memfasilitasi sertifikasi kompetensi, biaya yang dikeluarkan
mahasiswa akan lebih sedikit ketika dibandingkan dengan sertifikasi kompetensi
di LSP luar kampus. Ia melanjutkan, selain kendala biaya, dukungan dan
keseriusan rektorat pun dibutuhkan demi memenuhi syarat, seperti sarana dan
perangkat kerja dengan standar yang
ditentukan.
Menanggapi hal itu, Wakil Rektor I Bidang Akademik UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Fadhilah Suralaga mengatakan, pengembangan sertifikasi
kompetensi masih dalam tahap
perencanaan. Kini, UIN Jakarta hanya memiliki sertifikasi kompetensi di
Jurusan TI, SI, PSPD, dan semua jurusan di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
(FITK).
Pengembangan sertifikasi kompetensi, kata Fadhilah, akan diadakan di
Jurusan Farmasi, Psikologi, Perbankan Syariah, dan Asuransi Syariah. “Kendalanya
adalah masalah perizinan yang juga terkait dengan kesiapan fasilitas dan SDM,”
kata Fadhilah, Senin (23/3).
Perangkat kerja yang diatur dalam prosedur pembentukan LSP mencakup
standar kompetensi kerja, skema sertifikasi, tempat uji kompetensi, personil
yang kompeten dan sistem pengendalian pelaksanaan sertifikasi.
Sementara itu, Ketua Lisensi Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP),
Sanromo, menjelaskan, dunia kerja menuntut adanya sertifikat kompetensi, bukan
hanya ijazah. “Tenaga kerja diakui dengan sertifikat supaya diakui dunia,”
katanya, Senin (23/3).
Hal itu, tambahnya, tercantum dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003
Pasal 61 ayat 3 tentang Sistem Pendidikan. Dalam pasal
tersebut, sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan
lembaga pelatihan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu.
Namun, lanjut Sanromo, keluaran SDM lembaga pendidikan seringkali tidak
sesuai dengan permintaan dunia kerja. Pasalnya, kurikulum di lembaga pendidikan
tidak menyesuaikan standar kompetensi. Ia mengatakan, jika lembaga pendidikan
tidak sesuai, lulusan lembaga pendidikan harus dilatih kembali oleh lembaga
sertifikasi demi mendapat sertifikat kompetensi. “Ukuran keberhasilan kampus
dilihat dari kompetensi lulusannya,” jelasnya.
Pentingnya Berbahasa Asing
Meski PSPD sudah memfasilitasi sertifikasi kompetensi, dalam
praktiknya, kemampuan berbahasa asing mahasiswa masih jauh dari harapan untuk
menyongsong MEA akhir tahun 2015. “Bahasa internasional sangat diperlukan untuk
berkomunikasi dengan dokter-dokter luar negeri,” kata Fakhri.
Walaupun dalam mengerjakan tugas kuliah dosen sering menganjurkan
referensi jurnal dan buku bahasa Inggris, Fakhri menilai mutu kualitas, baik
mutu tenaga pengajarnya, atau fasilitas pengajaran di PSPD juga harus
ditingkatkan.
Sementara itu, Lily Suraya mengatakan, agar tidak kalah bersaing dengan
orang asing, mahasiswa mesti mempersiapkan diri. “Saya melihat keahlian dan
keilmuan mahasiswa tidak kalah, namun sering kali kita kalah dalam berbahasa,”
katanya. Tidak hanya mahasiswa, kemampuan dosen dalam berbahasa asing pun masih
terbatas.
Menanggapi hal itu, Fadhilah Suralaga mengatakan, kemampuan berbahasa
asing mahasiswa dapat diukur dengan
standar kelulusan TOEFL dan TOAFL. Saat ini, Pusat Pengembangan Bahasa UIN
mengadakan kegiatan belajar untuk remedial bagi mahasiswa yang belum lulus.
“Nantinya, kami akan mengembangkan pula penguasaan bahasa asing sebagai
pembahasan materi kuliah,” jelasnya.
Maulia
Nurul Hakim