“Sebagai mahasiswa yang menjunjung tinggi
kedaulatan rakyat Indonesia, kami dengan ini menyatakan satu mendukung RUU Pertembakauan
sebagai sebuah gerakan nasional yang satu tujuan untuk memberikan komitmennya
kepada para petani di Indonesia dan para petani tembakau lainnya.”
Ikrar
tersebut dituturkan oleh Selamet Widodo, Koordinator Diskusi Publik Mengawal Regulasi untuk Tembakau
di Aula Student Center (SC) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Selasa
(10/3). Sebagai perwakilan dari beberapa forum diskusi dan komunitas dari UIN
Jakarta hingga luar kampus, ia menyatakan dukungannya terhadap Rancangan
Undang-Undang (RUU) tentang Pertembakauan yang masih menuai pro dan kontra di
Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Pada
Prolegnas 2015, RUU pertembakauan berhasil masuk menjadi salah satu RUU
prioritas yang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tahun ini. Kini, RUU
tersebut hanya menunggu pembahasan dari DPR. Melalui RUU ini, diatur mengenai
kedaulatan bagi petani tembakau.
Sebelum
RUU dibuat, para petani jarang diperhatikan oleh pemerintah dalam mengelola
produk tembakau. Kondisi itu terlihat dari pemerintah yang lepas tangan dalam
menangani mafia tembakau. “Jika RUU tidak disahkan, apa pemerintah siap
mengganti mata pencaharian petani tembakau?” kata Don K. Marut selaku peneliti
sosial yang menjadi pembicara dalam diskusi tersebut.
Menurutnya,
saat ini petani tembakau sudah dalam keadaan yang sangat terdesak untuk
memperjuangkan haknya. Karena, lanjutnya, hingga saat ini nasib petani tembakau
tidak pernah diperhatikan secara khusus oleh pemerintah.“RUU Pertembakauan
merupakan RUU yang sudah menyerah bagi petani,” jelas Marut.
Sementara
itu Zulvan Kurniawan, Ketua Komisi Nasional Penyelamatan Kretek memaparkan
semenjak tahun 2012, sudah banyak dibuat peraturan untuk mengendalikan
tembakau. Peraturan tersebut, identik dengan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), sebuah kebijakan
yang dibuat oleh organisasi kesehatan World
Health Organization (WHO). “Namun, Indonesia belum meratifikasi FCTC
tersebut,” ungkap Zulvan.
Jika
Indonesia telah meratifikasi peraturan tersebut, lanjut Zulvan, maka terdapat
beberapa peraturan yang memberatkan petani tembakau. di antaranya kenaikan
tarif cukai sebesar 80 persen dari harga rokok, pengaturan ingredient, pendiversifikasian tanaman untuk petani, serta
pemutusan hubungan antara perusahaan rokok dengan pemerintah.
Setelah
FCTC diratifikasi oleh Indonesia, maka peraturan mengenai tembakau akan
disesuaikan dengan kebijakan tersebut. “Bagi kami, inilah letak kematian
industri kretek. Padahal, kretek adalah produk asli Indonesia,” terang Zulvan.
Rizky
Rakhmansyah