Tak dapat
dipungkiri, memahami karya sastra lama pada zaman modern seperti sekarang
memang sulit. Gaya bahasa serta pesan yang berusaha disampaikan dalam karya
sastra lama seringkali menimbulkan kebingungan. Apalagi, jika karya sastra yang
dimaksud merupakan suatu adaptasi dari dua media yang sangat berbeda seperti pembuatan film yang diadaptasi dari
novel.
Hal tersebut
dikatakan oleh pengkritik sastra dan public
speaker, Lobna Ismail, dalam acara Film
Screening and Literary Discussion yang diselenggarakan oleh ASEAN Literary
Festival (ALF) dan Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Bahasa dan Sastra Inggris
Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta bertempat di Teater Prof. Dr. Bustami
Abdul Ghani Fakultas Adab dan Humaniora (FAH), Senin (16/3).
Dalam acara
bedah dan diskusi film berjudul Atheis
ini, Lobna menyarankan, lebih baik membaca novel Atheis daripada menonton filmnya. “Novel Atheis adalah karya sastra yang memiliki keindahan bahasa di
dalamnya dan terkadang tidak dapat ditunjukkan melalui visualisasi akting,”
jelasnya, Senin (16/3).
Atheis adalah film
besutan Sjumanjaya yang diadaptasi dari novel sastra terkenal pada tahun 1949
karya Achdiat Karta Mihardja dengan judul yang sama. Film Atheis menceritakan sosok seorang laki-laki bernama Hasan yang alim
dan saleh, namun sifatnya berubah. Oleh sebab itu, Hasan menjadi orang yang
bimbang dan mudah terpengaruh oleh dua temannya yaitu Rusli yang menganut paham
Marxisme dan Anwar yang menganut paham anarkis.
Sementara itu, penulis
fiksi dan non-fiksi asal Singapura, Josephine Chia memaparkan, menurutnya, film
yang dirilis pada 1974 ini, merupakan karya sastra lama yang sarat makna.
“Seperti ketika Hasan berkata bahwa ia mengejar kaki langit, sebenarnya itu
merupakan metafora yang mempunyai arti yang sangat luas dan dalam,” ujarnya.
Senada dengan
Josephine, jurnalis asal Algeria, Idriss Bouskine mengatakan, walaupun dirinya
telah menonton banyak film dari berbagai negara, film Atheis ialah hasil karya terbaik yang pernah ia lihat. “Tak hanya
drama yang ditampilkan dalam Atheis,
tapi ada juga unsur komedi, horor, dan romansa,” katanya.
Dosen Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Jakarta, Rosida Erowati mengatakan, untuk
memahami karya sastra lama memang sulit. “Tidak mudah untuk mengerti gaya
bahasa, kosakata, dan karakter di dalam novel sastra. Dibutuhkan ketekunan dan
kesungguhan untuk terus membaca buku tersebut sampai selesai,” paparnya.
Jeannita
Kirana