Bertepatan dengan International Women Day, puluhan masyarakat yang tergabung dalam Komite
Persatuan Perjuangan (KPP) melakukan aksi terkait kesetaraan dan kesejahteraan
bagi perempuan di Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta, Minggu (8/3).
Aksi tersebut menuntut kesetaraan delapan
jam kerja bagi buruh perempuan. Hal itu diutarakan Ronal Sapriansyah, salah
satu anggota KPP. Ia mengatakan, aksi yang
diikuti oleh beberapa organisasi tersebut juga menuntut gaji layak
bagi buruh perempuan. “Pemerintah harus memberikan perlindungan kepada buruh migran
Indonesia serta mencabut UU No. 39 tahun 2004,” ujar Ronal, Minggu (8/3).
Ronal menambahkan, dikeluarkannya UU No. 39
tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar
Negeri tidak memberi jaminan perlindungan sepenuhnya. “UU tersebut hanya dibuat
untuk kepentingan perusahaan jasa penyalur tenaga kerja saja,” paparnya.
Sementara itu, salah satu anggota dari
Serikat Mahasiswa Indonesia, Martin Luise mengatakan, pemerintah harus
menghapus sistem kerja kontrak dan outsourcing.
Meskipun ada UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 yang mengatur jaminan
terhadap hak-hak buruh perempuan, namun pada praktiknya masih banyak perusahaan
yang melakukan kekerasan terhadap buruh perempuan.
Alhasil, sambung Luise, sekarang banyak
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal dengan alasan efisiensi dan
relokasi. Hal itu menyebabkan banyak buruh perempuan menjadi pengangguran tanpa
gaji pesangon. Selain itu, mereka tidak mendapat tunjangan untuk melahirkan,
hak cuti hamil dan keguguran.
Luise mengatakan, salah satu tujuan aksi
tersebut untuk membangun kesadaran masyarakat Indonesia agar tidak pasrah
terhadap penindasan yang dilakukan terhadap mereka. “Sekarang, saatnya
perempuan Indonesia bangkit, belajar dan melawan penindasan,” kata Luise.
Ika Puspitasari