Oleh:
Izzuddin Abdul Hakim*
Pemberitaan tentang Islamic State of Iraq and Levant (ISIL) atau beberapa
media juga menyebut Islamic State of Iraq and Syam (ISIS) kembali
menyeruak ke telinga publik tanah air. Faktornya adalah berita hilangnya 16
orang WNI di Turki yang diduga kuat bergabung dengan ISIS. Sampai saat
ini pula, pemerintah Turki masih menahan 16
orang WNI sejak bulan Januari lalu yang diduga hendak menyeberang ke Suriah
melalui perbatasan negara bekas Ibukota Khilafah Ottoman tersebut.
Pemberitaan tentang ISIS ini sebenarnya bukanlah kali pertama. Isu
serupa sempat ramai pada bulan Juni-Juli tahun 2014 lalu saat ISIS
mendeklarasikan apa yang mereka klaim Islamic State atau khilafah dengan
Abdurrahman Al-Baghdadi sebagai khalifahnya. Lebih mengejutkan lagi, bai’at
dari simpatisannya di Indonesia kepada Al Baghdadi dilakukan di Aula Syahida
Inn, Kampus 2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Masyarakat muslim pada umumnya terbelah menyikapi deklarasi Islamic
State oleh ISIS ini, sebagian mendukung namun mayoritas menolak. Lantas,
bagaimana sikap kita terhadap deklarasi ISIS ini?
ISIS vs Khilafah
Umat Islam pasti paham bahwa Islam bukan sekedar agama spiritual, namun
juga konsepsi politik (Abdurrahman, 2007). Artinya bahwa Islam memiliki
seperangkat aturan (syariat) yang komprehensif mengenai segala aspek kehidupan,
baik agama maupun politik (siyasah).
Banyak sarjana barat juga maklum akan hal ini. Kita bisa baca ide-ide
para orientalis seperti: V. Fitzgerald, C. A. Nallino, Schacht, R. Strothmann,
D.B Macdonald, Sir. T. Arnold, HALA.R. Gibb, yang semua senada mengatakan bahwa
Islam bukanlah sekedar kepercayaan agama individual, namun ia meniscayakan berdirinya suatu bangunan masyarakat yang
independen. Islam mempunyai metode tersendiri dalam sistem
pemerintahan, perundang-undangan, dan institusi (Rais, 2001).
Konsepsi pemerintahan dalam Islam ini dikenal dengan istilah khilafah,
atau barat menyebutnya caliphate. Para ulama generasi awal telah banyak
menulis tentang wajibnya mengangkat seorang khalifah/imam/amir—tiga istilah ini
adalah mutaradif (sinonim), lihat Raudhah Ath-Thalibin wa Umdah
Al-Muftin, hal 49; Mughnil Muhtaj, hal 132; Al-Muqaddimah,
hal 190; Lisanul Arab, hal 83; Tarikh Al-Madzahib Al-Islamiyah,
juz 1, hal 21—yang merupakan kepala negara dari Negara Khilafah.
Rujukan tentang kewajiban mengangkat seorang khalifah di antaranya dapat
kita baca dalam beberapa karya berikut: Raudlatut Thalibin wa Umdatul Muftin,
juz III, hal 433; Fathul Wahab bi Syarhi Minhajith Thullab, juz 2, hal
268; Mafatihul Ghaib fii At-Tafsir, juz 6, hal 57 dan 233; Tafsir
An-Naisaburi, juz 5 hal 465; Hasyiyah Al-Bajairimi ala Al-Khatib,
juz 12, hal 393; Tafsirul Qur’anil Adzim, juz I, hal 221; Al-Jami’ li
Ahkamil Quran, juz I, hal 264-265; Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab,
juz V, hal 128; dan lain-lain.
Singkat kata, konsep khilafah memang memiliki rujukan kuat dalam
pemikiran Islam. Atas alasan inilah migrasi beberapa WNI ke Suriah dapat kita
baca, meskipun pasti masih terdapat beberapa variabel lain yang dapat
menjelaskan.
Hanya saja, apakah ISIS betul telah mendeklarasikan khilafah atau
sekedar klaim sepihak? Di sinilah kita perlu cermat melihat fakta deklarasi
khilafah ala ISIS itu. Paling tidak ada dua hal di mana kita bisa “menghakimi”
deklarasi khilafah ala ISIS adalah tidak sah. Pertama, soal istilah khilafah.
Khilafah—sebagaimana terminologi salat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya
—merupakan istilah syar’i (al-haqiqah asy-syariyah) yang
pengertiannya diambil hanya dari dalil syara’.
Ulama telah banyak mendefinisikan terminologi khilafah/imamah/imarah, di
antaranya: Al-Ahkam As-Sultaniyah, hal 5; Ghiyatsul Umam fil Tiyatsi
Adz-Dzulam, hal 15; Al-Mawaqif, juz III hal 574 dan 578; Nihayatul
Muhtaj ila Syarhil Minhaj fil Fiqhi ‘ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i, juz 7
hal 289; Mauqiful Aqli wal Ilmi wal ‘Alam, juz IV hal 262; Qawaid
Nidzam Al-Hukm fii Al-Islam, hal. 225-230, yang pada kesimpulannya khilafah
adalah “kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia” (Asy-Syakhsiyah
Al-Islamiyah, juz II hal. 13).
Hal ini berbeda dengan ISIS/ISIL yang masih menggunakan ‘embel-embel’
Iraq and Syam atau Iraq and Levant. Tampak ketidaksinkronan antara khilafah
yang mereka deklarasikan dengan penamaan ISIS/ISIL yang mereka gunakan.
Kedua, dari sisi bentuk. Khilafah merupakan institusi negara yang menerapkan seluruh hukum-hukum Islam
terkait politik dalam negeri (as-siyasah ad-dakhiliya), politik luar
negeri (as-siyasah al-kharijiyah), sistem ekonomi (an-nidzam
al-iqtishadi), sistem sanksi (nidzamul uqubat), urusan pendidikan (siyasah
at-ta’lim), UUD dan UU (ad-dustur wa al-qanun) yang hanya digali (istinbath)
dari dalil syara’. Hal ini sangat diametral dengan ISIS yang hanya
merupakan kelompok atau jamaah.
ISIS bukanlah sebuah negara yang memiliki otoritas melaksanakan semua
hukum-hukum tadi. Bahkan ISIS juga tak memiliki draft UUD/UU yang jelas terkait
pengelolaan dan pengaturan negara khilafah yang mereka klaim itu. Oleh karena
itu, ISIS bukan negara khilafah itu sendiri, melainkan hanya sebuah kelompok
yang mengklaim diri sebagai khilafah.
Sikap Defensif Apologetik
Dari fakta bahwa ISIS bukanlah khilafah, maka kita harus tepat dalam
mengambil sikap. Hal ini penting karena umumnya berkaitan dengan isu-isu
sensitif semacam ini kita khususnya, dan umat Islam pada umumnya cenderung
bersikap defensif apologetik. Defensif apologetik adalah sikap membela diri
secara spontan dan tidak cermat demi menolak suatu tuduhan tertentu.
Sebagai contoh, jika ada yang menuduh “Islam adalah agama dengan model
pemerintahan yang barbar”, maka demi menolak tuduhan keliru tersebut akan
dijawab: “Tidak. Islam tidak mengajarkan konsep pemerintahan”, pernyataan
semacam ini, merupakan contoh tindakan defensif apologetik. Berusaha menolak
tuduhan yang jelas keliru meskipun harus mendistorsi ajaran Islam itu sendiri. Tentu ini adalah sikap yang kontra produktif
dan justru menjauhkan kita dari Islam.
Sikap yang harus kita ambil adalah menjelaskan konsep pemerintahan Islam
(khilafah) yang sesungguhnya tanpa merasa apologi dengan berbagai macam tuduhan
yang sebenarnya hanya berdasarkan klaim semata. Dengan begitu, ada dua
keuntungan yang bisa kita dapat sekaligus.
Di samping kita bisa menjelaskan ajaran Islam yang lurus dan tanpa
mendistorsinya sedikit pun, sekaligus membetulkan kekeliruan yang bisa menyeret
lebih banyak warga negara Indonesia bergabung dengan ISIS atas dasar
kesalahpahaman. Peran kaum intelektual, ulama, kyai, dan semua elemen
masyarakat diharapkan dapat bersinergi. Tolak ISIS, bukan tolak ajaran Islam,
bukan pula tolak khilafah!
*Penulis
adalah Mahasiswa Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN
Jakarta