![]() |
Ilustrasi. (Sumber: Internet) |
Oleh: Tri
Wibowo*
Hari masih
terlalu pagi tanpa rapal–rapal pengharapan. Pagi masih terlalu berkabut
bagi bising mesin-mesin berdoa.
Pukul lima kurang lima, sisir usai menjamah kepala berselaput Pomade, kancing-kan-cing kebosanan usai pula
menyisakan satu kegelisahan, bosan di antara kerah yang sengaja tak dikaitkan.
Setelan kaki cengcorang berbalut kaus kaki. Pula bersenada dengan rapat
berpeluk celana bahan. Hindari tiap lekuk kerut dari kekenyalan.
Kepada
cermin, sebaris gigi menyeringai merdu, “...calon guru.”
Hari masih
terlalu pagi tanpa desau-desau perisau.Pagi masih terlalu berkabut bagi denting cucian
piring-piring. Selembar roti tanpa remah coklat, siap saji sedari semalam. Menjadi
teman paling setia, bagi bulan-bulan menjelang penghabisan. Seraya mengunyah;
sekutu buku-buku masuk ke dalam barak bernama
Goodiebag setinggi siku; mencocok kedua kaki pada masing-masing sepatu.
Di muka
beranda, mantap hati berjanji, “...berangkat.”
Bug! Bunyi
pintu kamar buyarkan segala. Semesta angan. Seisi kepala. Menyudahi lamunan.
Kaswary,
lelaki paruh bingung. Mahasiswa semester pertengahan fakultas keguruan. Di
salah satu universitas kenamaan di kota Siuman. Sedari bangun tidur, ia masih
saja berdiri di depan cermin kerelaan.
“Masih
terlalu pagi tanpa secangkir lamunan. Pagi masih terlalu berkabut bagi mata.
Menyaksi muluknya keinginan. Cita-cita. Penderitaan.”
Kaswary
menggamit handuk. Masuk kamar mandi.
Kaswary
menggamit handuk. Keluar kamar mandi.
Pundi pakaian
kotor kian bertumpuk. Melambai pisah. Cukup ditinggalkan. Kasihan.
***
Sambil
tersenyum dan tanpa beban. Sepanjang jalan tarik perhatian. Mata kuliah metode
pendidikan, pelajaran pokok yang tak masuk hitungan. Membeban dalam pikiran.
Rambutnya panjang. Dibiarkan tergerai. Wajahnya
berewokan. Rapi tak bengkalai. Celana blue jeans bolong dengkulnya. Mengukir sempurna. Tak
mengecewakan.
Matahari
kikuk. Setengah frustasi. Menembus hela ubun kepala. Menguapi rambut Kaswary
hingga ranggas. Tentulah tak bisa. Seperti nyala petromak, tiap langkah tak
luput mengawal. Seperti selebriti di panggung spekta, langkah Kaswary terawasi
gemas.
Di muka
jalan, langkah terhenti. Di belang zebra, menuju seberang. Jelaga akademika
sudah di muka, tiba di depan muka. Dari muka yang zebra hingga belang–belang,
adalah pula di sana sebagai penghuninya. Kaswary enggan, setengah berpaling
dari niat seperginya. Menimbang bimbang dalam gamang, “...masuk kelas tidak,
ya?”
Rupa–rupa
resah, tak kalah sergah. Kaswary kalah.
Rupa–rupa
resah, tak kalah sergah. Kaswary menang.
Tak jadi
mengalah.
***
Di muka kubus
menahan siklus, sayup–sayup spiritus mulai terendus. Dari aroma ilmu dalam
sarkofagus. Kaswary tenang, rupanya Ayahanda sudah berbaring lebih awal di
dalam. Memereteli satu persatu ilmu, dari kerangka fosil-fosil bernama silabus
serupa papirus.
Ketuk pintu,
gerendel setengah merukuk. Seraya mengucap salam seadanya, masuklah jua Kaswary
menghampiri pembaringan Ayahanda. Meminta salim.
Sayang bayang
teramat kepayang, telapak ramah Kaswary dibiarkan saja. Begitu, dan selalu
saja. Laksana cinta para kawula, rapat telapak seakan terbiasa bertepuk
sebelah.
Tanpa dasar
falsafah, tata atur peraturan diatur terlampau mengatur. Atasnamakan norma yang
luhur, dalam pertimangan yang mabrur. Sementara keluhuran, makna yang mana dari
salam-salim tak bersilang. Ayahanda, yang terberkati kilau di kepalanya.
Nasihatmu begitu sibuk mengurus rambut gondrong, kerah baju, dan sepatu.
“...ah
engkau, Kaswary. Silakan masuk kelasku di lain waktu,” katamu dari dulu, dari
semasa mudamu yang sudah botak begitu.
*Penulis
adalah mahasiswa semester 4, Jurusan Pendidikan Bahasa & Sastra Indonesia,
UIN Jakarta