Nadya, perempuan berusia 20 tahun berjalan
mengitari Bundaran Hotel Indonesia (HI) lengkap dengan kertas berwarna putih di
tangannya. Kertas tersebut bertuliskan data kematian akibat penyakit preeklamsia, di mana melonjaknya tekanan
darah pada ibu hamil.
Saat ini, preeklamsia menjadi penyakit pembunuh pertama pada ibu hamil.
Karena itu, perempuan bernama lengkap Nadya Maghfira Bernady bersama sejumlah
kawannya yang tergabung dalam Center for
Indonesian Medical Students’ Activities (CIMSA) Universitas Islam Negeri
(UIN) Jakarta menggelar aksi peduli perempuan yang bertepatan dengan International Women’s Day.
Dalam memperingati hari tersebut,
organisasi yang didirikan pada 2001 ini menggelar acara bertema ‘Everyone for She’. Mereka terbagi menjadi beberapa kelompok untuk
memberikan edukasi tentang preeklamsia
pada perempuan berusia minimal 30 tahun.
Tak
hanya itu, CIMSA juga menyediakan wadah bagi siapa saja yang ingin
berpartisipasi dengan membubuhkan tanda tangan sebagai bentuk dukungan waspada preeklamsia. Dengan maskot seorang ibu
hamil, dokter, dan pelajar yang berada di samping banner, CIMSA menarik beberapa pengunjung untuk ikut serta
mendukung sebagai bentuk apresiasi.
Organisasi
yang bekerjasama dengan Brazil, Maroko, dan Columbia ini juga mengajak para
remaja untuk peduli dengan hak-hak perempuan yang kerap kali diabaikan. Hal
tersebut diungkapkan ketua pelaksana, Rohman Sungkono. Ia menambahkan,
perempuan Indonesia memiliki hak yang setara dengan laki-laki. “Kita ingin perempuan
Indonesia sadar kesetaraan gender,” ujarnya, Minggu (8/3).
Kesulitan mengadakan
acara ini, sambung laki-laki
yang biasa disapa Pono ini adalah koordinasi
antar anggota yang berasal dari 4 negara. Ia berharap, adanya acara ini dapat
menurunkan angka kematian ibu hamil akibat preeklamsia, serta mampu memperjuangkan hak-hak perempuan.
Kegiatan tersebut disambut baik oleh pengunjung, di antaranya
Risa Sandi Lubis. Mahasiswi Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP)
Jakarta ini mengaku beruntung mendapat edukasi yang diberikan CIMSA. “Jadi
nambah wawasan tentang perempuan, juga jadi tahu penyakit pembunuh tertinggi,”
katanya, Minggu (8/3).
Arini Nurfadilah