![]() |
Ilustrasi. (Sumber: Internet) |
Oleh: Thohirin*
Tak ada yang salah dengan sistem. Karena pada dasarnya, sistem dibuat
untuk mengatur bagaimana idealnya
manusia hidup bersosial. Kecacatan sebuah sistem dinilai bukan atas
dasar sistem itu dibuat, melainkan siapa yang mencederai sistem itu sendiri.
Pengangkatan dekan baru di sejumlah fakultas tentu telah mengejutkan
sivitas akademika UIN Jakarta. Kebijakan itu pun lantas menuai pro kontra.
Sebagian menilai rektor telah bertindak semena-mena lewat statuta baru itu.
Sebagian lagi menilai, hak prerogatif memang sudah sewajarnya didapat oleh
seorang pemenang.
Apapun respons publik tentu sah-sah saja. Karena itu adalah ejawantah
dalam hidup berdemokrasi. Toh, pada akhirnya respons itu menjadi evaluasi publik sendiri bagaimana mestinya
mengambil sikap dalam kegamangan seperti ini.
Di balik itu semua, sikap skeptis seyogyanya perlu untuk terus
dipelihara. Alasannya, setiap keputusan maupun kebijakan pasti akan bermuara
pada dua orientasi: negatif dan positif. Satu di antaranya adalah hak
prerogatif rektor Dede dalam mengangkat dekan ini bakal berorientasi politis.
Jika benar begitu, institusi pendidikan boleh jadi tak ada bedanya dengan
institusi pemerintahan lain yang dikenal lazim dengan ‘kongkalikong’ dan
kemitraan. Lebih lagi, kita baru kali pertama menerapkan statuta yang baru.
Bukan tidak mungkin ini menjadi preseden buruk yang terus berkelindan dan jadi
sesuatu yang mafhum.
Apalagi, UIN Jakarta kerap ditendensikan dengan nuansa ‘Islam’. Sudah
jatuh ketiban tangga. Begitu kira-kira perumpamaan yang pas jika institusi yang menggondol kata ‘Islam’
model UIN Jakarta ini terjerat persoalan yang banyak menyita perhatian publik.
Namun di sisi lain, sinergi juga tetap harus dijalin oleh seluruh
sivitas akademika UIN Jakarta. Barisan sakit juga tak seyogyanya terus larut
dalam kekecewaan atas putusan rektor. Terlebih, UIN Jakarta kini tengah sibuk
berbenah menuju World Class University (WCU). Sudah barang tentu, kampus ini
membutuhkan seluruh elemen agar turut bekerjasama merealisasikan itu semua.
Penulis sendiri ingat betul, apa yang dikatakan mantan Dekan Fakultas
Adab dan Humaniora, Oman Fathurrahman dalam sebuah wawancara beberapa waktu
lalu. Katanya, “UIN Jakarta ini dibangun atas dasar kekeluargaan. Bukan atas
kepentingan sebagian golongan”.
Mudah-mudahan pernyataan Rektor UIN Jakarta, dalam sebuah wawancara dengan INSTITUT, juga
menjadi sebuah jawaban atas kisruh yang terjadi belakangan. Katanya, “ini semua untuk kebaikan institusi kita.
Sekolah kita. Universitas kita, kebanggan Bangsa Indonesia,” memang benar
adanya.
*Penulis adalah Pemimpin Redaksi LPM INSTITUT