![]() |
Kegiatan 1001 Buku. (Dok. Pribadi) |
Khairu
Jaliisin fi Zamani Kitabun. Sebaik-baiknya teman sepanjang masa adalah buku. Pepatah Arab
itulah yang mungkin menggambarkan semangat sekelompok orang dengan visi dan
misi yang sama ini: Komunitas 1001 Buku. Semangat kerelawanan yang kuat selalu
membuat komunitas yang telah berdiri sejak tahun 2002 ini masih tetap eksis
hingga menginjak usia ke-13.
Komunitas yang digagas oleh Ida
Sitompul, Santi Soekanto, dan Upik Djalins bermula saat mereka merasa khawatir
dengan tingkat membaca anak yang rendah di wilayah ibu kota dan sedikitnya jumlah
taman baca kala itu. Mereka kemudian membuat milis dan mengundang
teman-temannya agar menyumbang buku bacaan untuk anak-anak. Tak berapa lama,
undangan menyumbang buku direspons positif.
Dwi Andayani, ketua Komunitas 1001 Buku berujar, selang enam bulan
menyebarkan informasi mengenai buku yang akan disumbang, mereka telah mampu
mendistribusikan buku ke 30 taman baca di Jabodetabek, dengan jumlah 8000 buku
per taman bacanya.
“Saat komunitas ini muncul di tahun 2002-an, anak-anak lebih suka
menyisihkan uang jajannya untuk bayar play station di tempat penyewaan
daripada membeli buku,” kenang wanita yang biasa disapa Dwi, Minggu (15/3).
Mulai saat itu, wanita kelahiran Jakarta ini bertekad, bagaimana caranya
agar anak anak mengantre ke tempat buku, bukan ke tempat play station.
“Saya tidak menghindari kemajuan teknologi, hanya berusaha menyeimbangkan
antara kemajuan teknologi dan budaya baca anak,” tegasnya.
Wanita lulusan Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung (ITB) ini
menambahkan, ia tidak setuju dengan adanya stigma bahwa anak-anak Indonesia
malas membaca. Namun, yang terjadi sebenarnya adalah sulitnya akses bahan
bacaan. Selain itu, Dwi merasa kualitas buku bahasa Indonesia kurang baik.
Sehingga buku-buku terjemahanlah yang lebih banyak dibeli.
Kini, ujar Dwi, demi meningkatkan kesetaraan kualitas bahan bacaan anak,
Komunitas 1001 Buku sendiri menyortir buku sumbangan dari donatur untuk
kemudian didistribusikan ke setiap taman baca. Proses Sorting, Packaging, dan
Distributing yang disebut SPD itu dilakukan oleh pihak pengelola.
Dwi menambahkan, proses sorting menentukan buku apa saja yang
dapat didistribusikan. “Tidak semua buku yang kita terima dari donatur dapat
didistribusikan. Kita hanya mendistribusikan buku layak baca anak,” ujarnya.
Tahun ini, tercatat sudah 70 taman bacaan di seluruh Indonesia yang
menjadi titik distribusi buku. Dengan kemajuan yang cepat itu, mereka seolah
mendapat angin segar. Apalagi, beberapa relawan mulai berdatangan dan
menyumbang.
Namun, layaknya roda yang terus berputar, keadaan komunitas tidak
selamanya berjalan mulus. Semenjak berdiri, kendala yang seringkali dihadapi
ialah komitmen relawan. Status komunitas yang tidak mengikat, membuat banyak
semangat relawan dan anggota naik turun.
“Tidak ada yang digaji dan menggaji. Oleh karena itu, tinggal bagaimana
kita menjaga hubungan pada sesama anggota komunitas agar tetap konsisten,”
terangnya. Biaya distribusi yang tidak sedikit, menjadi kendala selanjutnya
yang sering kali terjadi.
Dwi menegaskan, kualitas bahan bacaan anak harus merata. Selama ini,
anak-anak yang tinggal di daerah pesisir memiliki akses yang sulit dalam
mendapatkan buku. Kesempatan untuk mendapatkan buku bacaan yang baik menjadi
terhambat.
“Saya melihat anak-anak Indonesia masih memiliki masalah yang sama dari
dulu, yaitu kesetaraan bahan bacaan yang berkualitas. Dengan membaca buku, anak seorang nelayan dapat
memiliki cita-cita menjadi dokter, pergi ke London, dan ke manapun,” jelasnya.
Di tengah pendistribusian buku, komunitas ini tengah mempersiapkan
Olimpiade Taman Baca Anak (OTBA) tahun 2015. Di mana setiap tahunnya digelar
berbagai perlombaan seperti mengambar, peragaan busana dari barang bekas, dan
lainnya.
Ketua panitia acara OTBA 2015, Luci Priandarini menyatakan, acara ini
menjadi ajang kopi darat antara relawan dan pengelola, serta anak-anak taman
baca. Bertemakan 1001 Warna Anak Nusantara, panitia mengajarkan
toleransi dan keragaman pada anak anak dalam menghargai perbedaan.
Nur Hamidah