![]() |
Sumber: http://berita.suaramerdeka.com |
Oleh: Putra Gangga*
Seruni, apa
arti ikatan kita?
Kau hanya
diam. Kau bicara tentang pagi yang tiba-tiba mendung. Lalu dalam sebentar,
gerimis menetes. Percakapan kita terpotong. Kita terpaksa mencari tempat
berteduh. Dalam sebentar, kau khusyuk dalam diammu. Aku pun tak mau
mengganggumu. Aku memilih diam, menatap lurus ke depan, memandangi titik-titik
gerimis yang berkelebatan.
Kenapa kau
berkelebat pula dalam bayangan?
Aku menoleh
sebentar mencuri pandang pada sisi wajahmu yang segar. Seruni, kau tak sadar.
Hujan telah merebut jiwamu. Tiba-tiba aku cemburu. Hujan begitu pandai menarik
perhatianmu. Kau begitu bahagia memandang titik demi titik lincah gerimis itu.
“hujan, pagi
ini begitu indah”, bisikmu lirih. Kupandangi dirimu lagi. Kau masih asik dengan
imajinasimu.
“mengingatkanku
pada masa-masa kecil”.
Hujan,
rupanya kau merampas Seruniku sejak dari kecil. Pantas Seruniku tak lepas dari
kenangan tentangmu.
Kau tiba-tiba
menengadah, tanganmu terentang sembari menghela nafas panjang. Matamu terpejam,
kau sambut hujan. Kian deras. Kian deras. Kau kian jauh dan dalam.
Bibirmu bergetar. Pelan. Suaramu lirih, hampir tak terdengar dilumat siraman
hujan dan desauan angin. Kau menggumam nyanyian. Aku mendengar. Iramanya merdu.
Sendu. Apa makna nyanyian itu? Kau semakin dalam.
Kau semakin
aneh, Seruni. Apa artinya hujan buatmu?
Tiba-tiba kau
pucat, Seruni. Kau mengerjap. Matamu basah. Irama suaramu kian sendu. Semakin
bergetar. Sedang hujan kian lebat.
Kenapa
Seruni?
Kini kau
benar-benar bergetar. Matamu kian basah. Kau menangis. Tanpa aku mengerti, aku
tertikam sendu iramamu. Aku merasa kau sudah di puncak bayangan tentang hujan
ini. Akhirnya, kau roboh ke dalam pelukanku yang sudah siaga sejak tadi.
***
Sejak itu,
kita tak lagi bersua. Kini aku menjadi penyendiri, Seruni. Kau sulit aku temui.
Dimana kini, bahkan, aku tidak tau. Aku tak dapat menemukan ragamu. Hanya
selembar surat yang pernah kau titipkan untukku. Tentang apa aku tak tau. Aku
tak pernah membukanya. Katamu itu surat rahasia untukku. Tapi kau melarang aku
membacanya. Kau aneh, Seruni. Tapi seberapa pun anehmu, aku tak dapat melanggar
perjanjian ini.
Aku sudah
menghitung, terakhir kali kita bersua hari rabu pagi saat hujan deras dan kau
kehilangan dirimu. Kini sudah memasuki rabu kesembilan. Besok, kita akan
memasuki rabu yang kesepuluh. Dan kita tak pernah-pernah bisa berjumpa. Kau tak
ada kabar sedikitpun. Setiap kali aku ke rumahmu, keluargamu bilang kau tak
ada. Aku curiga kau mengatur segalanya. Kau memang hendak mengambil jarak
dariku, Seruni. Kau sadis. Kenapa kita pernah benar-benar bersama, meniti
ruang, melewati waktu dan berbagi cerita yang indah dan sendu? Kenapa kita
pernah sungguh dekat hingga kita benar-benar lupa ada jarak yang menyekat? Dan
segalanya berakhir begini.
Aku benci.
Dirimu aku caci. Diriku aku maki. Kita dua mahluk bodoh, mudah terpedaya rayuan
keindahan. Kita mudah lupa tentang ajaran bahwa segala yang terikat oleh ruang
dan waktu, juga terikat pada ketidakabadian. Kita mudah terlena oleh
imaji-imaji jumawa keindahan. Ahh, mampus. Bila begini rasanya, kita baru sadar
kebodohan kita. Kita baru sadar betapa segalanya permainan.
Mampus,
kesedihan atau tangis pun tak kan mampu menolong lepas dari keadaan ini.
Kesedihan atau tangis hanyalah ekspresi kelemahanmu, kelemahan kita.
“brakkk...”
Meja di
beranda rumahku ambruk seketika. Kacanya pecah menjadi kepingan-kepingan.
Kaki-kakinya patah. Baru setelah beberapa saat, aku sadar. Sorot beberapa mata
di sekeliling tertuju padaku: ayah, ibu dan adikku. Mereka kaget menatapku. Tak
ada reaksi. Diam saja hingga aku pergi menghindar dari mereka.
“kau mau
kemana?”, serentak bertiga memanggilku. Aku hanya menggeleng pergi.
***
Di hutan itu,
di hutan dimana aku dan Seruni terakhir kali berjumpa, aku kini duduk menatap
kosong. Di sampingku, bila aku menoleh ke samping, aku melihatnya menyambut
hujan, riang, bergetar dan akhirnya menggigil hingga tak sadarkan diri. Kali
ini aku tidak cemburu. Tak ada hujan tak ada Seruni. Hanya ada kehilangan.
“kau yang
bernama Nusa?” suara diantara angin. Seruni? Aku menegakkan keyakinanku
yang timbul tenggelam. Aku cari-cari darimana gerangan suara itu.
“aku Asih”.
Aku menggangguk lemas. Keyakinanku kian tenggelam, “adiknya Seruni”, katanya
lagi. Seruni? Kembali aku kuat.
“kakakku
pernah menitipkan surat untukmu, dia memintaku hari ini datang kepadamu”,
sejenak dia mengambil jeda, “awalnya aku ragu kau di sini. Tapi kakakku yakin
sekali, kau di sini dan belum membaca surat itu hingga tiba saatnya. Sekarang
kau boleh membacanya. Inilah saatnya...”.
“apa
maksudmu?”, potongku. Dia diam, “Apa untungnya aku membacanya saat ini? Katakan
saja dimana Seruni?”.
“kau akan tau
dari surat itu”, singkat, cepat dan lalu ia pergi menambahkan misteri. Terpaksa
untuk menemukan satu persatu dari segala misteri yang telah aku gudangi, aku
harus membaca surat itu. Aku pulang.
***
Kak, terima
kasih mau menyimpan surat ini dan mau membacanya. Setelah ini, aku tak kan
membebani kakak. Itu janjiku.
Demikian dia
memulai surat itu.
Maaf atas
pertanyaan yang tak sanggup aku beri jawaban: Apa arti ikatan kita? Sedang kau
begitu setia menyimpannya. Maaf. Setiap kali pertanyaan itu hadir, aku
pura-pura tak mendengar, kadang aku alihkan pada pembicaraan lain. Maaf, bukan
egois, hanya aku tak dapat menjawabnya. Karena hujan! Setiap hujan
mengingatkanku pada seseorang, pada waktu yang aku tunggu kapan datang.
Seseorang itu
adalah ibumu. Waktu yang kau maksud adalah suatu peristiwa tertentu yang
membawamu pada ingatan panjang tentang kesalahan dan kerinduan, tentang dosa
dan cinta. Dan kau dibuat gila.
Waktu itu,
hujan begitu lebat. Di rumah, dimana kau dan ibumu tinggal, tak ada orang lain.
Ibumu berteriak-teriak memohon pertolongan. Saat itu, ibumu hendak melahirkan
Asih. Sebab tak ada orang lain, kau beranikan diri mengambil tindakan sendiri:
memapah ibunya hendak membawanya ke rumah sakit.
Di depan
rumahnya, di tengah derasnya guyuran hujan, dalam keadaan memapah ibunya menuju
jalan, kau tergelincir. Tubuhmu limbung kehilangan keseimbangan dan akhirnya
terjatuh. Ibumu ikut terjatuh pula. Kepala ibumu terbentur batu di sisi jalan.
Pelipis ibumu berdarah. Pertolongan orang-orang tak lebih cepat dari maut. Sang
ibu tak tertolong. Beruntung sang bayi terhindar dari rencana kematian.
Saat itu,
sikapmu pada hujan menjadi ganda. Kau mengutuk sekaligus merindukan hujan.
Mengutuk hujan yang membikin petaka kematian. Merindukan dan berharap hujan
agar membawanya kepada sang ibu dimana kau tak mampu menikam rindu dan perasaan
bersalah. Kepadanya kau akan melabuhkan perih dosa dan kesalahan. Kepadanya kau
akan melabuhkan derita.
Tak perlu kau
khawatir .. apa arti ikatan kita? Ikatan kita terjaga dalam masing-masing kita.
Ikatan kita melampaui ruang-waktu. Bukankah kita sama teruji, dalam diam kita
saling menanti, dalam rindu saling menunggu, dalam jarak yang memisahkan kita
saling setia memendam sayang? Kita serahkan ikatan kita pada keabadian
kematian.
Akhirnya, aku
ditikam sepi dan gebu kerinduan yang bercampur duri kehampaan. Dalam diriku,
setiap malam aku bernyanyi...
Dimana kamu,
O Malam?
Beri aku
kantuk dan ketenangan
Aku bosan
dihantui siang, kenangan
Dihantui
dunia dan kegaduhannya
Dimana kamu,
O Angin?
Tega kau
simpan desirmu
Kau biarkan
aku diliput gerah,
resah dan
segala gundah
Ciputat, 30
Nopember 2014
*Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan penyuka Wayang