![]() |
img.okezone.com |
Oleh:
Afsir Mlajah
Aku
duduk termangu sambil memandang kosong lobi gedung mewah ini. Beberapa orang
lalu lalang, bercakap-cakap, tertawa. Beberapa orang duduk bergerombol di
sisi-sisi lobi, satu dua menunduk mengutak-atik telepon genggam androidnya, dua
tiga entah membahas apa, heboh rasanya. Suasana yang tak asing lagi bagiku. Ya,
dulu, dua belas tahun yang lalu, untuk pertama kalinya aku duduk termangu, di
tempat yang sama, di lobi ini. Sudah delapan tahun semenjak hari kelulusanku,
aku tak pernah kembali ke kota ini, ke tempat ini. Apa kabar kampusku?
Baru saja masuk halaman kampus, rasa itu
kembali datang. Rasa yang selalu membuatku bersemangat untuk melangkahkan
kakiku pagi-pagi. Delapan tahun bukanlah hal yang mudah untuk merasakan suasana
ini kembali. Mahasiswa-mahasiswa lalu lalang, menggendong tas, membawa
buku-buku, sebagian menjingjing lembaran fotokopi makalah, segelintir
menghentikan langkahnya, membaca selembaran pamflet yang ditempel di papan
pengumuman. Begitulah suasana dua belas tahun yang lalu saat pertama kali aku
masuk perkuliahan.
Namun
ada sesuatu yang berubah, ada satu yang hilang dari keramaian ini. Itulah
alasan mengapa aku duduk termenung di lobi ini. Ada yang salah? Apa yang salah dengan
keramaian ini? Aku mengedarkan pandanganku, mencari sisa-sisa masa laluku yang
kini tak kudapati. Dimana? Dimana letak perbedaan itu?
Satu
menit. Dua menit. Tiga menit. Aku hanya menatap datar sekitar. Sejenak kupejamkan
mata, mencoba mengingat apa yang hilang. Satu menit, dua menit. Seseorang berjalan
melewatiku. Dua menit sepuluh detik. Kubuka kelopak mataku, tersenyum getir.
Benar dugaanku. Ada yang hilang, ya, ada yang hilang. Aroma kopi tubruk!
Bagaimana
bisa aku lupa mengingatnya? Padahal aroma kopi itulah yang selalu menyambutku
dan mahasiswa-mahasiswa lainnya di gedung ini setiap pagi, saat kaki-kaki
melangkah mantap menuju warung yang terletak pas di samping gedung. Ah, dimana
warung itu sekarang? Dimana?
Lelah
kutatapi setiap detail ruangan di lantai dasar gedung bertingkat empat ini.
Nihil, ternyata warung itu sudah disulap menjadi tempat parkir sepeda motor.
Aku mengernyitkan dahi, bertanya dalam hati, jikalau warung itu tidak ada,
pastilah hanya pindah tempat. Buktinya, aroma kopi itu masih ada, meski bukan
kopi tubruk seperti yang disukai oleh teman-teman seperjuanganku dulu. Siapa
tahu saja Bu Sri, si pemilik warung itu sudah berganti merk. Mungkin saja
begitu bukan?
Aku
mangut-mangut, mengiyakan pertanyaanku sendiri. Lantas kulepas
pandanganku menyisiri sekeliling lobi ini. Ah, itu dia! Gumamku dalam
hati. Lekas kulangkahkan kaki menuju sudut lobi gedung. Ruangan itu tak begitu
besar, tapi bila dibandingkan dengan warung Bu Sri yang dulu, ruangan itu lebih
besar.
Saat
masuk ke dalam ruangan, seorang penjaga, lelaki muda berperawakan hitam manis
memperhatikan gerak-gerikku, menatapku penuh tanda tanya, lantas menyebut
sebuah nama.
“Mas
Jufri? Mas Jufri!” Lelaki itu berseru girang.
Aku
melipat dahi, siapa?
“Ini
aku Mas, Ridwan!” Lelaki itu memelukku. “Yo opo kabhare Mas?” sapanya.
Ridwan?
Nama yang tak asing di telingaku. Tapi siapa? Sedetik, dua detik, sepuluh
detik. Ah ya! Ridwan anaknya Bu Sri! Alamak, delapan tahun tak bertemu, bocah
ingusan ini sudah tumbuh besar ternyata.
“Haha,”
Aku tertawa sendiri menjambak rambut Ridwan “Yo opo kabhare, aku apik-apik wae.
“Hahaha” Aku tertawa lepas. Tak berapa lama, kami pun saling bercerita tentang
kondisi masing-masing.
***
Bagaimana
bisa aku dekat dengan Ridwan? Gampang saja. Dulu, aku selalu stand by di warung
Bu Sri, ibunda Ridwan. Saat itu, usianya masih dua belas tahun dan aku masih
duduk di semester tiga. Sejak itulah aku mulai nongkrong di warung Bu Sri.
Saking dari istiqamahnya nongkrong, sampai-sampai kami serasa seperti keluarga.
Apalagi saat-saat dompet mengering, Bu Sri-lah yang siap menampungku sebagai
pelanggan setianya, meski datang tanpa uang. Sejalan dengan itu, si bocah
ingusan, Ridwan kecil, selepas pulang sekolah selalu membantu ibunya. Tak lupa
juga ia selalu jahil menggangguku, menyembunyikan buku yang kupinjam dari
perpustakaan. Dasar penjahat kecil!
Sebenarnya,
bukan aku saja yang selalu stand by nongkrong di sana. Aku hanyalah salah satu
dari sekian banyak penggemar warung Bu Sri. Saat itu, siapa yang tak mengenal
dia? Selain murah meriah, cocok dengan kantong mahasiswa, Bu Sri mempunyai
jurus jitu untuk menarik hati para pelanggannya. Apa itu?
“Buk,
Kotobrok buk dua bungkus!” Begitulah kata yang sering kudengar selama nongkrong
di warung itu. Kotobrok, sebuah plesetan dari kata kopi tubruk. Aku tak
tahu bagaimana bisa bernama kopi tubruk. Yang jelas, saat itu, kopi itulah kopi
nomor wahid di kampusku. Siapa yang tak tahu kualitas kopi ini? Nesscafe, Kapal
Api, Torabika, semuanya kalah jauh rasanya dibanding “Kotobrok” buatan Bu Sri.
“Bukan
rasanya Juf, tapi fenomenanya.” Begitu kata Yusuf, teman tongkronganku di
warung Bu Sri mengomentari pendapatku itu. Biasanya setelah mendengar tanggapan
Yusuf, Bu Sri lantas tertawa.
“Ngomong
opo iki…” Celetuknya.
Sejujurnya,
kopi tubruk buatan Bu Sri bukan hanya menang rasa, tapi juga menang selera.
Buktinya, rata-rata teman-teman kampus suka sekali memesan kopi beraroma khas
itu. Ada yang minum di tempat, ada yang minum di lobi, bahkan ada yang membawanya
ke ruang kelas! Bukan hanya mahasiswa, tapi dosen-dosen pun banyak yang suka
dengan Kotobrok ini.
Sejujurnya
juga, apa yang dikatakan oleh Yusuf pun benar. Kotobrok merupakan sebuah
fenomena. Sungguh pun mau mengelak, bagiku Kotobrok mempunyai fenomena
tersendiri. Bagaimana tidak? Lihatlah pelanggan-pelanggan setia kopi tubruk Bu
Sri. Lihatlah pemuda-pemuda di lobi itu. Lihatlah kelas-kelas itu. Simaklah
pembicaraan para mahasiswa di sela-sela mereka menyeduh kopi tubruknya.
Perhatikan apa saja yang mereka bahas. Lihatlah buku-buku yang mereka baca. Raut-raut
wajah itu. Mata-mata yang serius memperhatikan. Telinga-telinga yang sigap
mendengarkan. Tangan-tangan yang sibuk mencatat.
Mengesankan.
Sungguh mengesankan.
Dimana-mana,
kopi tubruk itu identik dengan diskusi-diskusi, baik formal ataupun nonformal.
Mau di lobi, kelas, warung Bu Sri sendiri, mereka, para pelanggan setia Kotobrok
selalu saja mempunyai pembahasan menarik setiap seduhannya menikmati rasa manis
dan pahit yang bercampur di segelas kopinya. Sebuah pemandangan yang menarik
selama aku kuliah di kampus ini. Untungnya, aku pun termasuk bagian dari
fenomena tersebut. Akulah sang penunggu warung. Bersama teman-teman kelas,
banyak permasalahan yang kita atasi bersama di warung Bu Sri, tentunya sambil
menyeduh kopi tubruk. Kopi yang identik dengan aromanya yang khas itu.
***
Nahas,
umur femomena kopi tubruk sama seperti umur sinetron-sinetron di layar
televisi. Bahkan mungkin lebih buruk lagi. Syukur-syukur sampai episode ke
seribu, episode kopi tubruk tak sampai nominal itu. Selepas dua tahun
kelulusanku, menurut cerita Ridwan, fenomena itu memudar lantas hilang tak
berjejak. Tak ada lagi diskusi-diskusi itu. Tak ada lagi wajah-wajah serius
itu. Dan tragis, hal yang membuatku tak bisa menemukan masa laluku di sini, tak
ada lagi aroma kopi tubruk itu.
“Ibu
sakit-sakitan Mas semenjak dua tahun yang lalu. Sejak itu, akulah yang
bertanggung jawab atas koperasi ini.” Ridwan menjelaskan apa yang terjadi.
Aku
terdiam sejenak. Mataku sibuk memperhatikan keramaian di luar sana. Sama
ramainya dengan masa delapan tahun silam. Kulihat segelintir beberapa pemuda
yang sedang berkumpul di sudut-sudut lobi gedung. Mereka sedang asyik online
dengan tablet, laptop, dan smartphone masing-masing. Sesekali mereka
senyum-senyum sendiri. Entah apa yang membuat mereka begitu. Pandanganku hanya
tertuju pada segelas kopi yang menemani kesibukan mereka. Mellihat hal itu, lantas
aku menepuk pundak Ridwan.
“Kopi
apa yang mereka minum?” Aku bertanya sambil menunjuk arah pemuda-pemuda
tersebut.
“Kopi
tubruk, Mas.” Ridwan menjawab polos.
“Yang
benar saja!” Aku tersedat, antara percaya dan tidak. Seharusnya aku bisa
mencium aromanya sedari tadi!, batinku dalam hati.
*Penulis adalah seorang perantau yang sedang menempuh
pendidikan di Jurusan Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta