‘Pengabdian’ kata itu begitu sakral, begitu luhur, begitu agung, namun
kini hanya sebuah keniscayaan semu yang tak kunjung nyata kutemui. Entah pada
siapa, entah apa, entah di mana kata itu bersemayam. Langit seolah hanya
berhias awan dusta nestapa. Bumi hanya tampak debu-debu kemunafikan. Harus kah
kumenangis meratapi semua ini, atau hanya diam? TIDAK!
Kini, di zamanku yang sudah modern, tiada lagi manusia pengabdi yang
sepenuhnya rela berkorban atas panggilan hati nurani. Semua insan terbuai,
lalai. Semua tampak dibudaki oleh akal kotor dan nafsu pragmatis dengan
orientasi hanya untuk memperkaya diri akan materi. Para pahlawan yang
mengorbankan darah, air mata, dan cinta kini telah punah menjadi fosil-fosil
sejarah di museum-museum hikayat bangsa. Jasa mereka untuk menjadikan bangsa
ini merdeka cukuplah sebatas kenang yang redup di awang-awang. Tak lagi ada
pemuda ataupun pemudi yang diharap menjadi penerus, memanjangkan tangan-tangan
para pejuang terdahulu. Generasi ini telah dibuat buta, tuli, dan bisu oleh
virus-virus kemutakhiran zaman. Generasi ini telah mati suri dan harus ada yang
membangunkannya.
Abdi-abdi pendidikan bangsa telah berbelok dari apa yang biasa kita sebut
“mencerdaskan kehidupan bangsa”. Guru-guru yang dahulu diguguh dan ditiru baik
dari ilmu maupun perilaku, kini lebih pantas disebut pengajar daripada
pendidik. Ya, tentu dari kaca mata mereka yang masih memiliki nurani. Kini para
pengajar itu condong mengejar apa yang disebut “gaji”, bayaran bulanan yang
diterima oleh mereka para karyawan, buruh, dan pekerja. “Mengajar bila
dibayar”, jika boleh aku cantumkan gelar akan terpampang di wajah mereka
“pengajar bayaran”. Sungguh hati ini tersayat melihatnya. Bukan lagi
mencerdaskan kehidupan, ataupun menyadarkan bangsa, tapi tak lebih dari
mencerdaskan akal yang sebatas pengejaran target nilai kurikulum semata.
Pendidikan sekarang tak lebih dari kemunafikan formalisasi-birokratis.
Lain hal dengan mereka sang pendidik, yang mungkin sekarang hanya bisa
kita temui di pasar-pasar loak pinggir jalan. Mereka tak banyak dikenal tapi
senantiasa dicari dan dibutuhkan. Tentu kini pendidik itu telah bermetamorfosa
sebagai barang langka bernilai tinggi. Begitu luhur pangkatnya, namun luhur
pula jerih keringatnya. Mereka rela korbankan jiwa, raga, waktu, dan hidupnya
untuk “kehidupan bangsa”, untuk murid-muridnya, demi melahirkan generasi
penopang bangsa. Mereka tak harapkan gaji, jabatan, ataupun prestise yang
lenyap tertelan waktu. Tapi mereka punya cita-cita agung yang diteruskan dari
tongkat estafet para pengabdi terdahulu. Semboyan “Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing
Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani” itulah yang mereka tuju. Tut Wuri
Handayani yang berarti mendorong dari belakang, yang dulu menjadi tujuan utama,
betapa pun kini di atas dunia formalisasi-birokratis, semboyan itu hanya
tinggal pajangan di seragam, topi, atau dasi anak-anak sekolahan. Para aktor
pendidikan sekarang bukan mendorong dari belakang, tetapi maju jauh ke depan,
berebut nilai-nilai material yang akan pupus ditelan masa. Wahai abdi
pendidikan, pulanglah!
Drama yang digelar di atas panggung politik pun menggambarkan potret
demikian. Abdi-abdi negara tak lagi tampak jelas, kian kabur tertutup kabut
kursi-kursi jabatan. Sekarang, dan dulu belum nyata terbukti mereka yang
benar-benar “membangun”-kan Indonesia dari tidur panjangnya. Telah nyata memang
progres pembangunan dari segi infrastruktur di kota-kota metropolis semisal
Jakarta, Bandung, Yogyakarta, atau Surabaya. Namun pada nyatanya, bangsa ini
belum sepenuhnya merdeka, bangsa ini masih terjajah! Siapa yang menjajah? Ialah
mereka para koloni Barat dan mereka koloni pribumi yang mengkhianati titahnya
sendiri.
Fenomena politik hari ini tak lebih dari kemunafikan real para politisi,
yang mungkin tak pantas disebut negarawan. Cobalah tengok model general
election atau yang biasa kita sebut pemilu. Pemilihan presiden atau pejabat
negara itu bak adu gladiator di tanah Roma, “yang kuatlah yang menang, yang
liciklah yang berkuasa”. Saling sikut sana-sini, sekarang kawan besok lawan,
tak terang mana nurani. Mereka korbankan harta dan harga diri untuk merebut
“kursi”. Kampanye umbar janji di sana-sini. Serangan fajar dan manipulasi
kadang menjadi strategi jitu. Setelah terpilih habis manis sepah dibuang,
janji-janji pun hanya isapan jempol belaka. Tentu loyalitas, kredibilitas,
integritas, lebih-lebih “pengabdian” para politisi pada negara tentu
dipertanyakan. Negara ini, kapal yang kita naiki bersama untuk pecahkan ombak,
menerjang badai, hingga sampai ke pulau impian, kini mereka gerogoti geladaknya
sedikit demi sedikit hingga berlubang dan tenggelam ke dasar samudera. Dan
rakyat selaku penumpang tak bersalah akan ikut tenggelam.