![]() |
(Sumber:
www.balipost.com)
|
Di tengah
banyaknya kasus plagiat, berbagai pencegahan plagiat juga semakin berkembang.
Seperti adanya software anti plagiat.
Namun, tidak semua Lembaga Pendidikan dan universitas menggunakan software anti plagiat tersebut.
Kepala Seksi
Organisasi Kemahasiswaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Dikti), Syahril
Chaniago menjelaskan, perguruan
tinggi di bawah Dikti sudah
menggunakan software pendeteksi plagiat. Software tersebut akan mendeteksi semua karya ilmiah yang masuk ke e-journal. “Sehingga, mahasiswa dan
dosen harus mempublikasikan karya ilmiahnya” ujar Chaniago, Rabu (19/11).
Salah satu
universitas yang sudah menggunakan alat anti plagiat adalah Universitas
Indonesia (UI). Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan UI, Bambang
Wibawarta menjelaskan, alat deteksi plagiat ini dapat mengecek keaslian skripsi
mahasiswa. Sehingga, karya ilmiah yang terdeteksi plagiat akan langsung diketahui.
Bambang
menambahkan, perkembangan Information and Technology (IT) merupakan salah satu
sebab plagiarisme mudah dilakukan. Selain itu, pendeteksi plagiat juga
berkembang. “Ketika kesempatan untuk melakukan plagiat semakin mudah, alat
pendeteksi plagiat juga semakin maju,” ujar Bambang, Kamis (7/8).
Salah satu
anggota Pengembangan dan Pelayanan Sistem Informasi (PPSI) UI, Gladi Guardin mengatakan, selain menggunakan alat pendeteksi plagiat, UI
juga mempunyai cara lain untuk mencegah plagiat. Seperti, menyosialisasikan
tentang larangan plagiat dan memberi
pendidikan tentang sejauh mana orang dapat dikatakan plagiat.
Adin menjelaskan, alat
untuk mendeteksi plagiat berupa software
yang mengubah semua teks menjadi Portable Document Format (PDF). Untuk
membandingkan 5000 skripsi mahasiswa, software
tersebut memerlukan waktu tujuh jam. “Poses membandingkan hasil skripsi hanya
untuk satu universitas, kalau seluruh Indonesia menggunkan alat tersebut kita
dapat membandingkan dengan universitas lain,” ujarnya, Kamis (7/8).
Berbeda dengan
Dikti, Direktorat Jendral Pendidikan Islam (Diktis) masih mendeteksi kasus
plagiat secara manual. Kepala Seksi Mutu Akademik, Imam Sayogya, mengatakan,
hal tersebut dikarenakan hasil karya dosen atau mahasiswa belum dipublikasikan
secara online. “Kami cek satu per
satu untuk mendeteksi tulisan yang plagiat. Namun kedepannya, Diktis dalam
proses untuk menggunakan software
anti plagiat,” ujarnya Kamis (4/12).
Sementara itu, Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta belum menggunakan
alat pendeteksi plagiat. Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan, Moh
Mastna mengatakan, untuk mencegah kasus plagiat UIN menyosialisasikan tentang
larangan plagiat dan mendeteksi sumber-sumber yang mahasiswa gunakan dalam
skripsi.
Menurut Mastna,
UIN dalam proses untuk menggunakan alat deteksi plagiat. Selain itu, mahasiswa
akan diwajibkan memasukan e-journal.
“Untuk sementara kita masih mendeteksi tanpa menggunakan software anti plagiat,” ungkapnya,
Kamis, (27/11).
Menganggapi hal
tersebut, Pelaksana Subjek Ketenagaan Diktis dan Pendeteksi Plagiat, Rofiq
Zainul Mum’ain menjelaskan, untuk mendeteksi adanya plagiarime memang lebih
efektif menggunakan software anti
plagiat. “Meskipun cara deteksi secara manual juga dapat dilakukan,” ujarnya,
Kamis (4/12).
Beberapa
mahasiswa juga merasakan pentingnya alat deteksi plagiat. Mahasiswa Jurusan
Filsafat Universitas Gajah Madha, Elthy Graha mengatakan, akan lebih baik jika
semua universitas memiliki alat pendeteksi plagiat.
Senada dengan
Graha, mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris UIN Jakarta, Ranita Sari
mengungkapkan, untuk mencegah plagiarime memang tidak cukup dengan sosialisasi.
Menurutnya, kasus plagiat sampai sekarang masih ada meskipun sudah ada
sosialisasi tentang hukuman untuk plagiat.
IP