![]() |
(Dok. Pribadi) |
Menyoal
demokrasi kampus, erat kaitannya dengan pemilihan umun raya (pemira). Berbagai
macam sistem pun digunakan agar tercipta pemira yang adil dan damai.
Berbeda dengan pemira tahun lalu yang menggunakan sistem keterwakilan
pada tingkatan universitas, Pemira 2014 menggunakan sistem one man one vote
secara keseluruhan. Hal ini dikarenakan, sistem tersebut dipercaya dapat
mengakomodir hak pilih mahasiswa dengan baik.
Bagaimana tanggapan Akhmad Yusuf selaku ketua Senat Mahasiswa (Sema)
sebagai lembaga yang membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam Pemira 2014.
Berikut wawancara reporter INSTITUT, dengan Yusuf, Rabu (3/12).
Bagaimana sistem pemilihan pada pemira tahun ini?
Pemira tahun ini menggunakan sistem one man one vote, di mana
setiap mahasiswa semester satu sampai tujuh bisa menggunakan hak suaranya untuk
memilih pemimpin lembaga kampus dari semua tingkatan, baik jurusan (HMJ/HMPS),
fakultas (Sema-F dan Dema-F), hingga universitas (Sema-U dan Dema-U).
Kenapa sistem pemilihan tahun ini berbeda dengan tahun lalu?
Setelah ditinjau kembali, sistem keterwakilan dinilai tidak bisa
mengakomodir hak suara mahasiswa dengan baik. Tak hanya itu, mahasiswa pun
tidak bisa merasakan euforia demokrasi di kampus. Hal itu dikarenakan hanya
mahasiswa tertentu saja yang dapat memilih di tingkatan universitas.
Terlebih, demokrasi itu sebaiknya melibatkan seluruh mahasiswa. Oleh
karena itu, sistem yang digunakan pada tahun ini adalah one man one vote.
Sistem tersebut disepakati pada kongres yang diselenggarakan 27-29 April lalu
dan dilanjutkan pada 3-4 Mei 2014.
Apa yang menjadi landasan sistem one man one vote diterapkan pada pemira tahun ini?
Penerapan sistem one man one vote pada Pemira tahun ini mengacu pada Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
(AD/ART) Organisasi Kemahasiswaan. Dalam AD/ART tersebut ditulis, Pemilihan
Umum Raya, selanjutnya disebut Pemira, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan
mahasiswa yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,
dan adil di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta berdasarkan Pancasila dan AD/ART
Organisasi Kemahasiswaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Lalu, bagaimana dengan sistem pemilihan sebelumnya, apakah sudah memakai
sistem one man one vote?
Mengenai pemira tahun lalu, sistem yang digunakan adalah keterwakilan
untuk tingkatan universitas seperti Sema-U dan Dema-U, serta sistem one man
one vote untuk tingkat jurusan dan fakultas seperti HMJ/HMPS, Sema-F, dan
Dema-F.
Maksud dari keterwakilan di sini, UIN Jakarta mengambil suara satu
persen dari Daftar Pemilih Tetap (DPT) setiap fakultas untuk memilih Sema-U dan
Dema-U. Semisal, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) memiliki DPT
sebanyak 4.000, maka satu persen jumlah tersebut adalah 40 mahasiswa.
Menurut Anda, apakah penerapan sistem one man one vote berhasil pada pemira tahun ini?
Bagi saya, yang menjadi tolak ukur keberhasilan bukan hanya
terselenggaranya pemira. Tapi, bagaimana proses pemira bisa berjalan dengan
baik. Hanya saja, jika dilihat dari partisipasi pemilih, pemira tahun ini
terlihat belum maksimal. Hal tersebut terbukti dengan masih banyaknya mahasiswa
yang golput.
Dengan persiapan yang hanya memakan waktu kurang dari satu bulan, apakah
itu menjadi salah satu faktor pemira kali ini tidak berjalan maksimal?
Tak bisa dipungkiri, persiapan yang hanya sebulan membuat pemira kali
ini tidak berjalan maksimal. Terbukti dari adanya permasalahan yang terjadi
saat pemira. Namun, jika dinilai secara keseluruhan, pemira kali ini sudah
berjalan dengan lancar, adil dan damai.
Apa harapan Anda selaku Ketua SEMA-U terhadap pemira pada tahun
selanjutnya?
Berkaca pada pemira tahun ini, saya harap ke depannya tidak ada lagi
keterlambatan dari segi apapun, mulai dari molornya jadwal pemilihan sampai terlambatnya
pendistribusian logistik pemilihan. Jika hal seperti itu terulang kembali, maka
keseluruhan acara akan kena getahnya.
Selain itu, untuk mendapatkan hasil maksimal, persiapan pemira
membutuhkan waktu yang panjang dan dalam pelaksanaannya membutuhkan dukungan
dari semua pihak.
AS & YA