![]() |
Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) ketika menyampaikan kuliah umum bertajuk Pengalaman Mengawal Reformasi di
Auditorium Harun Nasution UIN Jakarta, Rabu (10/12). (Sumber: www.detik.com)
|
Democracy is noisy, politic is
restless ungkapan yang tepat untuk menggambarkan peristiwa 1998. Awal terbentuknya
reformasi, demokrasi yang berjalan gaduh menyebabkan kerusuhan di beberapa
tempat. Di masa itu, masyarakat seolah bersahabat dengan sistem pemerintahan Orde Baru (Orba).
Hal
itulah yang disampaikan Rektor UIN Jakarta Komaruddin Hidayat saat mengisi
kuliah umum bertajuk Pengalaman Mengawal
Reformasi pada Rabu, 10 Desember, di Auditorium Harun Nasution, UIN Jakarta.
Menurutnya, “Politik itu seni mengatur konflik dan seni berkompromi. Jadi kalau
tidak ada konflik, bukan politik namanya,” ucapnya Rabu (10/12).
Tambahnya,
konflik yang terjadi di Indonesia membuat Indonesia diperebutkan oleh beberapa
kepentingan. Ras, etnik, suku, organisasi masyarakat, terorisme, serta agama
ialah berbagai macam dinamika dalam permasalahan itu.
Pengalaman
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di dunia militer dan politik juga
membuat ia disegani di luar negeri. Masuknya Indonesia ke dalam Gerakan
Non-Blok membuat hubungan diplomatik Indonesia diselesaikan secara teratur. “Konsep
politik yang digagas SBY ialah menjalin kerjasama dengan luar negeri dan
membuat Indonesia tidak mempunyai musuh,” tuturnya.
“Maraknya
konflik di Indonesia yang melatarbelakangi dimulainya reformasi adalah praktek
kenegaraan yang tidak sesuai dengan demokrasi serta terhambatnya aspirasi
rakyat menjadi penyebab runtuhnya Orba,” jelas presiden keenam Republik
Indonesia.
Krisis
ekonomi di tahun 1998 dan juga pergantian presiden yang dramatis, Menjadi awal
runtuhnya orde baru. “Perbaikan terus dilakukan berasaskan nilai-nilai
demokrasi,” tuturnya.
Ia
mengatakan, kinerja antar pemerintah pusat dan daerah juga mengalami
perkembangan. Dengan diterapkannya asas desentralisasi, masyarakat pedesaan
dapat merasakan pembangunan daerah. “Daerah dapat berkembang tanpa tergantung
oleh pemerintah pusat,” ucapnya.
Ia
memaparkan fungsi negara setelah reformasi banyak mengalami perubahan.
Diterapkannya sistem check and balances
antara legislatif, eksekutif, serta yudikatif meminimalisir adanya
penyimpangan. Hal tersebut dinilai sebagai indikator berjalannya demokrasi.
“Jadi, tidak ada ketimpangan kekuasaan lagi,” ujarnya.
Di
sisi lain, media massa harus bisa mengkontrol kinerja pemerintah, ia
menambahkan, pers mendapatkan kemerdekaannya setelah terjadinya reformasi.
Kini, masyarakat bebas untuk berpendapat, bahkan untuk mengkritik pemerintah
pun diperbolehkan. “Pemimpin harus bisa menerima kritik. Hal tersebut, menjadi
stimulus dalam menjalankan tugas,” tuturnya.
Menanggapi
kuliah umum tersebut, mahasiswi Jurusan Manajemen Pendidikan, Asti Riana,
berkata kuliah umum yang dihadirkan sangat berguna bagi mahasiswa. Hal
tersebut, juga menarik karena disampaikan langsung oleh presiden keenam
Republik Indonesia. “Karena, nanti kita yang akan menjadi penerusnya,” kata
Asti.
RR