Belakangan
ini, penerjemahan dianggap menjadi hal penting dalam menentukan populernya
suatu karya. Beberapa sastrawan menilai, jika suatu karya belum tersedia dalam
bahasa asing, karyanya dirasa tidak populer. Namun, ada hal yang lebih penting dari
populernya suatu karya, yaitu kedalaman isi sebuah karya sastra.
Hal
tersebut disampaikan oleh Damhuri Muhammad, Redaktur Halaman Sastra Harian Media Indonesia dalam Acara Asean Literary Festival. Ia mengatakan,
beberapa sastrawan menilai karyanya tertinggal oleh karya sastra lain di
negara-negara Asia karena tak terseleksi
oleh komite juri nobel sastra. “Hal tersebut mempengaruhi iklim kekaryaan,”
ungkapnya, Rabu (10/12).
Damhuri
menjelaskan, ketika suatu karya sastra diterjemahkan dalam bahasa asing, ada
beberapa kosa kata yang tak dapat diartikan begitu saja. Sehingga, lanjut Damhuri, sastrawan merasa kerja penerjemah tidak
maksimal dan dapat mengurangi isi dalam sebuah karya. “Banyak penerjemah yang akhirnya menyerah dalam
menerjemahkan istilah khas Indonesia,” tutur Damhuri.
Menurut
Damhuri, ketika ada sastrawan asing yang ingin mempelajari sastra negara lain,
mereka harus mempelajari bertahun-tahun bahasa
dan kebudayaannya. Karena, sambungnya, ketika mereka sudah paham dalam bahasa
dan budaya, mereka akan lebih mudah dalam mengartikan kosa kata dan istilah
khas dari karya sastra tersebut.
Damhuri
menambahkan, selain masalah penerjemahan, situasi politik pada masa penjajahan
juga memengaruhi karya sastra. Tidak hanya di Indonesia, negara-negara ASEAN
seperti Philipina, Vietnam, Laos, dan Thailand
juga memiliki masalah sama yang memengaruhi karya sastra. “Sehingga, dahulu
penerbitan karya sastra dibatasi dan diawasi ketat,” Ujarnya.
Sementara
itu, penulis novel Maryam, Okky Madasari menjelaskan, terdapat perbedaan antara karya-karya pada masa
kolonial dan karya-karya pada masa revolusi. “Hampir setiap periode sejarah
Indonesia terdapat sastrawan dengan karya-karya yang berbeda,” kata Okky, Rabu
(10/12).
Menurut
Okky, lahirnya sastra baru di Indonesia
dipengaruhi oleh perubahan politik. Misalnya, sastra pada 1970-an dianggap
berbahaya karena berisi kritikan terhadap pemerintahan masa itu. Sehingga,
terbitnya sebuah karya sastra tergantung dari Lembaga Penerbitan. Seperti karya
Pramoedya Ananta Toer yang dibakar dan dilarang terbit.
Karya
sastra dapat memberi gambaran atas apa yang terjadi dalam masyarakat dalam satu
periode tertentu. Seperti sekarang, tambah Okky, tema sastra yang disukai oleh
pembaca didominasi oleh nilai-nilai agama dan motivasi hidup. “Karya sastra cermin kehidupan masyarakat,”
kata Okky.
Sementara
itu, Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan Fakultas Adab dan Humaniora, Zubair,
mengatakan, sebuah sastra akan menjadi esensial ketika menjadi sebuah kajian.
“Sebelum mempelajari sastra negara lain, lebih baik jika kita mempelajari
Sastra Indonesia lebih dahulu sebagai Fondasi awal,” pungkasnya.
Menurut
penuturan Ketua Panitia, Ade Dwi Sepetian, seminar ini bertujuan untuk memberi
pengetahuan mengenai sastra dan membuat mahasiswa tertarik terhadap sastra. “Selain
itu, ada workshop yang mengajarkan mahasiswa menulis sebuah karya sastra
seperti puisi,” kata Ade, Rabu (10/12).
IP