Tak kurang dua
minggu UIN Jakarta bakal punya rektor baru. Seabrek persoalan–baik intern
maupun ekstern–sudah menunggu calon orang nomor satu di kampus peradaban ini.
Terlebih, UIN Jakarta kini tengah berbenah menuju kampus bertaraf internasional
(WCU).
Kepada reporter INSTITUT, Thohirin, Direktur Sekolah
Pascasarjana UIN Jakarta, Azyumardi Azra, me-ngatakan persoalan utama bagi
rektor baru nanti yakni harus mampu me-ningkatkan kualitas akademik. “UIN
Jakarta harus mampu meningkatkan jumlah profesor, Dr. ataupun Ph.D.,” katanya,
Kamis (2/10).
Tak hanya itu,
rektor UIN Jakarta periode 1998-2006 ini juga menyampaikan pandangannya soal
kebijakan Kemendikbud tentang masa percepatan studi mahasiswa S1. Menurutnya,
Kemendikbud semestinya tidak mendikolonisasi perguruan tinggi. Namun
sebaliknya, Kemendikbud harus mengembalikan otonomi perguruan tinggi.
Bagaimana Anda melihat kondisi UIN Jakarta saat ini?
Kondisi UIN
Jakarta, menurut saya, cukup berkembang. Jumlah mahasiswa dan lulusan juga
terus meningkat. Situasi kemahasiswaan juga cukup kondusif dalam menunjang
proses pembelajaran.
Lantas, apa tantangan terbesar bagi rektor baru UIN
Jakarta nanti?
Tantangan utama
bagi rektor baru nanti adalah meningkatkan kualitas akademik. Menambah jumlah
profesor dan Dr./Ph.D., meningkatkan kerapian dan kebersihan kampus. Dan
memperkuat jaringan kerjasama de-ngan pihak dalam dan luar negeri.
Oleh karena itu,
UIN kini perlu sosok akademisi terkemuka. Bukan hanya dikenal lingkungan
perguruan tinggi Indonesia, namun juga di luar negeri. Sekaligus juga bisa
menjadi semacam CEO (Chief Operating Officer) untuk mengelola UIN. Rektor baru
nanti juga harus memiliki jaringan dengan berbagai pihak baik di dalam maupun
luar negeri.
Salah satu syarat utama menjadi WCU, UIN Jakarta harus
meningkatkan publikasi ilmiah. Namun, kondisi yang terjadi malah sebaliknya.
Menurut anda, langkah apa yang harus diambil rektor UIN Jakarta nanti?
Soal penelitian,
UIN seharusnya bisa membentuk kelompok peneliti handal yang dapat melakukan
riset serius dalam menghasilkan artikel ilmiah untuk diterbitkan pada jurnal
dalam dan luar negeri. Karena itu, perlu pendanaan lebih besar dan penerbitan
jurnal di lingkungan UIN secara lebih teratur.
UIN Jakarta kerap dikaitkan dengan isu-isu radikalisme
agama. Apa tanggapan Anda?
Isu ini tidak perlu
dibesar-besarkan. Jika ada yang terlibat radikalisme, itu hanya satu dua orang
yang sudah tidak ada kaitan langsung dengan UIN. Pimpinan UIN mendatang harus
lebih waspada mengawasi berbagai lembaga. Khususnya masjid dan fasilitas lain
yang kerap dimanfaatkan pihak luar–kelompok radikal.
Menurut saya, UIN
Jakarta tetap merupakan PTAIN progresif yang memadukan keislaman, keindonesiaan
dan kemodernan serta menjadi benteng akademis Islam wasatiyah.
Sebagian kalangan menilai kebijakan Kemendikbud soal masa
percepatan studi S1 bakal berimbas pada menurunnya kualitas lulusan S1. Tak
terkecuali UIN Jakarta?
Banyak kebijakan Kemendikbud
yang menciptakan masalah, termasuk percepatan masa studi yang tidak jelas, kewajiban menulis di jurnal, dan sebagainya.
Seharusnya percepatan studi itu harus dilakukan dengan penyederhanaan kurikulum
dan pemberian fasilitas Proses Belajar Mengajar (PBM) yang lebih lengkap.
Karena itu,
pemerintah mendatang sepatutnya melakukan reformasi pada pendidikan tinggi,
pendidikan dasar dan menengah. Pendidikan tinggi di Indonesia harus kembali
mendapat otonominya. Tidak dikolonisasi Kemendikbud. Jadi, harus ada
dekolonisasi perguruan tinggi.
Sebenarnya,
‘percepatan studi’ juga tidak jelas. Karena itu, sebaiknya penerapan kebiijakan
itu ditunda dulu sampai terbentuknya kabinet baru yang sedikit banyak mengambil
kebijakan baru. Termasuk dalam bidang pendidikan—dasar, menengah dan tinggi.
Pasca konversi IAIN menjadi UIN, fakultas-fakultas agama
kurang diminati mahasiswa baru. Seperti Dirasat dan Ushuluddin. Terbukti, dua
fakultas itu membuka jalur khusus untuk menarik mahasiswa baru?
Saya kira, hal itu tidak
perlu dikhawatirkan karena itu terkait dengan persepsi masyarakat pada lapangan
kerja. Namun, yang perlu dilakukan Kemenag dan pesantren adalah kembali
mendirikan dan memperbanyak Madrasah Aliyah Program Khusus Keagamaan (MA PK)
yang menjadi sumber asupan bagi jurusan, prodi, dan fakultas semacam itu.
Sangat disesalkan penutupan MA PK oleh Kementerian Agama beberapa tahun lalu.
Kenapa Anda tidak kembali mencalonkan diri menjadi
rektor?
Sejak selesai
periode kedua sebagai rektor (2006), saya sudah memutuskan untuk tidak
mencalonkan diri lagi. Meski pada pilrek tahun tersebut, ada petisi dari
sejumlah anggota senat yang meminta saya maju lagi karena mereka berpendapat
saya baru sekali menjadi rektor UIN (2002-2006). Sebelumnya kan saya hanya jadi
rektor IAIN (1998-2002).
Saya juga pernah
diminta mencalonkan diri pada 2010, tapi saya menolak dan menyatakan, “I am
already history (saya sudah menjadi sejarah).” Bagi rektor mendatang, lebih
baik generasi muda yang mendapat
kesempatan dan tanggung jawab untuk memajukan UIN.