Suasana
panggung di gedung Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki berubah menjadi
pelataran lapangan yang digunakan untuk menyabung ayam. Terdengar riuh para
pemuda tengah bersorak mendukung jagoannya masing-masing. “Ayoooo.. Wiraguna
serang serang,” teriak salah satu pendukung Wiraguna. Sabung ayam ini berbeda
dari sabung ayam biasanya, ayam yang diadukan adalah ayam jadi-jadian milik
Wiroguna dan Pronocitro.
Akhirnya Wiroguna
keluar sebagai pemenang sabung ayam mengalahkan Pronocitro. Pronocitro adalah
kekasih Roro Mendut. Berdasarkan sayembara, pemenang akan dijodohkan
dengan Roro Mendut gadis cantik nan
rupawan, ia putri semata wayang Raja
Adipati Pragola. Dengan berat hati Pronocitro harus mengikhlaskan Roro Mendut
jatuh ke tangan Wiroguna.
Roro
Mendutpun menolak hasil putusan sayembara. Ia tetap memilih lelaki idamannya
yaitu Pronocitro. Akhirnya Roro memutuskan melarikan diri dari istana. Suatu malam, Roro bertekad untuk menemui Pronocitro
di sebuah taman. Hingga akhirnya pertemuan yang dilakukan secara diam-diam
itupun berlangsung.
Sembari bernyanyi
lagu jawa karawitan. Raut muka mereka berbinar menggambarkan kebahagian.
Melepas rasa rindu yang telah lama mereka pendam. Tiba-tiba kebahagiaan itupun
berubah menjadi malapetaka. Tak disangka pertemuan mereka diketahui Wiraguna.
Wiragunapun murka, dengan paksa ia merampas Roro Mendut dari tangan Pronocitro.
Tak kalah
murka, lalu Pronocitropun merebut kembali gadis yang ia cintai. Kemudian perang
antara Pronocitro dan Wiroguna tak terelakkan. Akhirnya tanpa pikir panjang
Wiraguna mengeluarkan sebilah pisau lalu menancapkan di perut Pronocitro. Tak
lama kemudian Pronocitro tumbang dihadapan Wiroguna dan Roro Mendut.
Tak kuasa
melihat sang kekasih tak berdaya di hadapannya. Roro Mendutpun langsung
mengambil pisau yang tertancap di bagian perut kekasihnya. Roro yang diperankan
Ruri Nostalgia murka dan bertekad membalaskan apa yang telah Wiroguna lakukan
terhadap kekasihnya. Perebutan pisau antara Roro dengan Wiroguna berlangsung
beberapa detik. Sudah jatuh tertimpa tangga, pribahasa itulah yang
menggambarkan kondisi Roro Mendut saat itu. Berniat untuk balas dendam,
ternyata justru Rorolah yang menjadi korban. Ia pun mati bersama sang kekasih
Pronocitro.
Lampu-lampu
panggung mulai redup dibarengi dengan tepuk tangan para penonton yang menggema di
gedung Teater Jakarta. Hal itu menandai berakhirnya pertunjukan teater yang
berjudul Roro Mendut. Pentas yang berlangsung pada Selasa (4/11), bercerita tentang seorang gadis dari bangsa
keraton yang ingin dijodohkan dengan seorang bangsawan, namun gadis tersebut
menolak dan lebih memilih sang kekasih.
Sal
Margianto selaku Kritikus Tari mengatakan, pertunjukan ini merupakan gabungan
antar seni teater dengan seni tari. Menurutnya, kreatifitas dan wacana memang
perlu diadakan dalam salah satu pertunjukan. “Dengan memelihara warisan
terlebih tradisi tari merupakan hal yang perlu dikembangkan oleh remaja
Indonesia ,” tuturnya, Selasa (4/11).
Selain itu
Margianto menambahkan, acara ini merupakan salah satu pertunjukan untuk
mengawali Indonesia Dance Festival (IDF). Sebuah festival tahunan yang
diselenggarakan di beberapa tempat salah satunya di, Teater Jakarta, Taman
Ismail Marzuki.
Sama halnya Margianto,
penonton yang berasal dari Kota Bandung, Taksin Kurniawan tertarik dengan
pentas Roro Mendut. Ia mengungkapkan pertunjukan ini sangatlah bagus,
sebuah narasi diungkapkan dalam bentuk tembang (puisi yang dinyanyikan).
“Sangatlah keren perpaduan visual dan
art,” ujarnya, Selasa (4/11).
TS