2016 serentak seluruh universitas di Indonesia
menerapkan Permendikbud No. 49 Tahun 2014. Peraturan yang mengatur mahasiswa
strata satu (S1) harus menyelesaikan kuliahnya maksimal 5 tahun. Alasannya,
agar mahasiswa menyelesaikan kuliahnya tepat waktu. “Kalau kuliah tidak
lulus-lulus akan menjadi beban negara,” kata Wakil Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, Musliar Kasim.
Pro-kontra pun bermunculan. Mahasiswa yang setuju
menjadikan Permendikbud sebagai motivasi agar cepat lulus. Orientasi yang
terbangun selama ini, kuliah untuk mencari pekerjaan yang layak. Jadi bisa
dilihat betapa lakunya Job Fair yang diadakan berbagai perusahan untuk
menjaring para Fresh Graduate.
Berharap, dengan bekal ijazah dan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) amat baik
atau bahkan cumlaude para sarjana dapat mendapat pekerjaan yang diinginkannya.
Namun jika melihat Badan Pusat Statistik (BPS) per
Februari 2014, pengangguran bergelar sarjana mencapai 398.298. Bak lagu Iwan
Fals “Sarjana Muda” yang menenteng ijazah dari satu perkantoran ke perkantoran
lainnya. Jika meminjam perkataan H.A.R Tilaar pendidikan kita mencetak robot
yang mempunyai ijazah, tapi tidak tahu untuk apa dipergunakan.
Dalam teori nilai tenaga kerja, tenaga kerja atau
buruh merupakan sumber seluruh kekayaan. Keuntungan yang didapat oleh kapitalis
menjadi dasar eksploitasi tenaga kerja, sederhananya membayar upah buruh kurang
dari selayaknya yang diterima. Kemudian nilai surplus itulah yang disimpan dan
diinvestasikan kembali oleh kapitalis.
Lalu jika diibaratkan robot atau mesin, maka robot
tersebut telah dipersiapkan selama 5 tahun untuk menjadi basis eksploitasi.
Basis eks-ploitasi yang tersedia bukan sedikit, malah ada 398.298 yang menunggu
untuk dieksploitasi. Kapitalis tak perlu sulit mencari, bahkan setiap harinya
akan ada yang datang untuk dieksploitasi.
Setelah mengatur lamanya studi apakah pemerintah
mengatur lama-nya seseorang menganggur dan memastikan setiap lulusan S1 dengan
ijazahnya mendapat kepastian untuk mendapat pekerjaan? Jika tidak kita dapat
melihat indikasi bahwa pemerintah hanya menghasilkan sapi perah dari sistem
pendidikan 2016 nanti.
Kemudian patut dipertanyakan, ke mana arah pendidikan
saat ini? Apakah hanya dipersiapkan menjadi robot atau seperti yang
dicita-citakan Ki Hajar Dewantara bahwa esensi pendidikan adalah memanusiakan
manusia. Pertanyaan tersebut diri kita sendirilah, “mahasiswa” yang dapat
menjawabnya.
Dilihat dari etimologi, mahasiswa berasal dari dua
suku kata yaitu, kata ‘maha’ dan ‘siswa’. Kata ‘maha’ berarti besar, paling,
ter, sangat. Sedangkan siswa berasal dari kata ‘murid’ dari kata ‘iradatan’
yaitu orang yang mencari pengetahuan di tingkat sekolah dasar, menengah. Jadi,
sebagai seorang yang tingkatannya paling tinggi dalam mencari pengetahuan
seharusnya, mahasiswa dapat dengan sendirinya menentukan kapan dirinya akan
lulus.
Bangku perkuliahan tidaklah sama dengan masa studi SD
sampai SMA. Kuliah bukan hanya duduk manis dan mengerjakan tugas makalah,
kemudian mendapat IPK amat baik bahkan cumlaude. Pentingnya proses kesadaran
seseorang akan kebutuhan ilmu yang tidak didapatnya dari bangku perkuliahan
sangatlah penting. Jika mahasiswa sudah disibukkan dengan pelbagai tugas
bagaimana proses kesadaran tersebut terbangun.
Membangun sebuah proses penyadaran dalam 5 tahun
tidaklah cukup. Pembatasan studi menjadi salah satu bentuk pengekangan jika
alasannya menjadi beban negara. Beban negara adalah koruptor bukan mahasiswa
yang lama lulusnya! Bisa dilihat apakah politisi yang duduk di DPR RI dahulu
hanya kuliah saja? Dan Apakah dahulu reformasi dibangun hanya dengan duduk
manis di dalam kelas?
*Penulis adalah mahasiswa UIN Jakarta yang menjadi
beban negara