Di usia yang tak lagi
muda, UIN sudah mengalami banyak transformasi di pelbagai sektor. Ragam
perubahan tersebut seolah menjadi bukti konkret UIN merespons perkembangan
zaman yang semakin bergerak dinamis. Hal ini juga mengindikasikan, kampus ini
tak alpa dalam percaturan pendidikan di kancah nasional maupun internasional.
Arus perkembangan zaman
yang kian deras, nampaknya telah memaksa UIN untuk tumbuh menjadi institusi
pendidikan yang memiliki integritas keilmuan. Tak hanya concern pada kajian-kajian keislaman, kini UIN pun tengah
meneguhkan posisinya sebagai salah satu universitas modern yang berakar pada
nilai-nilai keislaman.
Hal itu bisa terlihat
dari tumbuh suburnya berbagai fakultas dan prodi baru di kampus ini. Kemunculan
fakultas dan prodi baru ini, mestinya merefleksikan konstelasi posisi tawar UIN
dalam menyelesaikan ragam permasalahan yang menimpa bangsa ini. Mulai dari
kisruh keagamaan, sosial, krisis moralitas, hingga menjamurnya tindak politik
praktis.
Tentu, setumpuk
permasalahan itu menjadi pekerjaan rumah bagi setiap institusi pendidikan di
negeri ini, tak terkecuali UIN Jakarta. Sebab, sebagai salah satu lembaga
pendidikan, UIN memiliki peran penting dalam mengatasi permasalahan tersebut. Lebih
lagi, posisinya yang tak jauh dari ibu kota, UIN seharusnya punya kans dan kekuatan
lebih (power) dibanding universitas
berbasis Islam di daerah lain.
Namun, posisi strategis
ini nampaknya hanya bakal terkunci dalam bunyi pepatah, gajah di pelupuk mata
tak tampak, semut di seberang pulau terlihat jelas. Kiranya, pepatah tersebut
cocok untuk mendeskripsikan kondisi UIN saat ini. Mungkin, tak salah jika
dibilang ironis, apa pasal?
Seperti kita tahu,
impian UIN menjadi universitas islam bertaraf internasional bukanlah kicauan
baru. Namun, pada pelaksanaannya kampus Ciputat ini seolah terjebak pada hal
yang bersifat prosedural dan mengenyampingkan hal-hal yang bersifat
substansial.
Infrastruktur,
misalnya. Sektor ini nampaknya tengah menjadi sorotan tajam para pimpinan
kampus. Sehingga apa pun bentuknya, seberapa besar pun biayanya, selama finansial
kampus mencukupi, semuanya bisa terealisasi.
Kecenderungan inilah
yang kami nilai tak tepat sasaran. Sebab, pada hal substansial UIN cenderung
luput. Sebut saja, minimnya sarana dan prasarana perkuliahan, buruknya kualitas
dosen, sistem pembelajaran yang disorientasi, dan buku ajar yang tak memenuhi
kualifikasi.
Padahal kesemua sektor
ini merupakan aspek fundamental bagi sebuah institusi pendidikan. Benarkah,
pembangunan yang tengah digenjot ini atas dasar kebutuhan? Atau semata-mata memenuhi
syarat universitas bertaraf internasional?
Sebagai institusi
pendidikan yang terbilang mapan, kini UIN seharusnya menjadi corong atas segala
permasalahan yang terjadi dewasa ini. Bukan terseret pada label universitas
partisan yang kosong karakter. Sehingga, hal ini akan memperkecil ruang UIN
dalam menawarkan gagasan dan pandangan solutif terkait isu-isu yang berkembang.
Pula jangan sampai,
kepentingan-kepentingan pribadi ataupun golongan (partai) masih
menginternalisasi di pikiran para pimpinan kampus yang sekarang ataupun nanti.
Sebab, bukan tidak mungkin, hal ini dapat mereduksi dan mengaburkan cita-cita founding fathers kampus ini. Terlebih,
kampus ini dikenal telah menelurkan banyak intelektual muslim dan teknokrat
yang memiliki integritas dan martabat.
Karenanya, untuk
mewujudkan itu semua, perlu adanya soliditas di setiap lini dalam tubuh UIN guna
memperkokoh konstruksinya menghadapi tantangan di masa yang akan datang.
Kiranya, atas dasar itulah, acara “Ngobrol
Bareng Rektor Terpilih” yang bertemakan
Rektor Baru Harapan Baru
ini,
LPM INSTITUT mencoba mengajak seluruh sivitas akademik untuk berbincang ihwal
arah UIN ke depan dan bagaimana langkah progresif UIN menjawab ragam tantangan
di masa yang akan datang.