Kau
menyebut dirimu petani. Kulitmu legam. Wajahmu kusam. Kau hidup dari kasih
sayang Tuhan lewat alam. Keluargamu tumbuh besar dalam derai cinta yang alam
berikan lewat kesuburannya. Kau bergantung pada irama musim. Salah satu musim
yang membuatmu tersenyum lebih dari sekedar biasanya adalah musim yang
menunjang tumbuh besarnya kami: anak-anak tembakau.
Sejak
dulu kau dan kami memang punya hubungan istimewa. Kau rawat kami dengan segenap
rasa cinta. Kita seperti sepasang anak dan orang tua.
Memang
tak pernah kau menyebut kami anak-anakmu. Sekali pun! Tapi dari caramu merawat
dan membesarkan kami dengan kerja kerasmu tiap hari, bermandi keringat, air
mata harapan dan kesedihan, rasanya tak perlu kami mempertanyakan kepastian
status itu. Kami tak perlu merepotkanmu dengan pertanyaan itu. Kau anggap kami
sebagai anak-anakmu atau bukan, itu tak penting. Kerja kerasmu telah cukup
menjawab segala teka-teki sunyi itu.
Kami
tak perlu berebut status sebagai anak-anakmu. Kami tak perlu merepotkan istrimu
untuk membagi status cintanya kepada kami dan anakmu. Cukup kami adalah
anak-anakmu yang rajin kau rawat dan tak perlu kau beri kami pengakuan yang
sah.
Kami
masih ingat, di ladang ini kami tumbuh besar dalam perawatanmu. Sewaktu kami
masih bibit muda, melalui serangkaian kasih sayangmu, yang katamu beginilah
tradisi yang berlaku di kampung sini cara membesarkan kami semua, tiap hari kau
biarkan kami disinari terik matahari agar kami tumbuh bagus. Sembari itu, kau
beri kami siraman air secukupnya tiap hari agar kami tak kering.
Kau
begitu peduli terhadap kondisi kami. Matamu tak pernah sangsi untuk mengawasi
perkembangan kami tiap hari. Kau pupuk kami secukupnya agar pertumbuhan kami
bagus.
Manakala
ada di antara kami yang tumbuh kurang sehat atau terserang penyakit, kau segera
mencari bantuan untuk memperoleh pengobatan. Jika kau temui seseorang hendak
mengganggu kami atau tak sengaja mengakibatkan kami terganggu, kau pasti marah
besar. Bahkan kau tak segan-segan membikin perhitungan dengan orang itu.
Begitulah kau, begitu besar pembelaanmu kepada kami. Semakin kami tambah mantap
untuk tak perlu merepotkanmu untuk menjawab status kami denganmu.
Kami
juga masih ingat waktu itu di tempat ini manakala kau bilang kami adalah
bibit-bibit masa depan. Bibit-bibit emas. Kami adalah pembawa keberuntungan
untuk keluargamu. Sebabnya, sambil mengucapkan itu kau tersenyum bangga
sumringah. Waktu itu, kami tidak mengerti apa maksudmu. Kami hanya diam dan
sesekali mengikuti irama rayuan angin kemana ia berhembus.
Dan
sejauh kau merasa bahagia, kau bangga terhadap kami semua, kau perlakukan kami
semua begitu istimewa. Itu sudah cukup. Tak perlu kami semua mengerti apa
maksud perkataanmu waktu itu.
***
Kini
kami tumbuh semakin dewasa dan besar. Kini kau tak lagi perlu bersusah payah
menyiram kami sebab kami sekarang sudah tak dahaga lagi. Kami sudah terbiasa
bergaul dengan terik matahari. “Kami sekarang bisa tahan”, kata kami, “sudah
berapa waktu bukan kanak lagi”.[1]
Daun-daun
kami sebagian sudah menguning berkibaran menjanjikan. Kami menyambut senyummu
tiap pagi saat kau mengunjungi kami. Senyum, yang menurut kami tak pernah
berubah, masih tampak seperti dulu meskipun garis usia dan legam akibat terik
jelas di wajahmu. Dan caramu memberi kami perhatian, kerja keras dan kepedulian
yang berlebihan, masih seperti beberapa bulan yang lalu.
Kini
kami makin menua dan siap dipanen. Kau bilang nanti pada saat yang tepat, kau
akan petik daun-daun kami untuk didiamkan di rumahmu barang beberapa hari demi
menjalani proses pematangan khusus. Lalu setelah itu, dalam proses yang
bertahap, kau akan dengan bangga mengatakan pada pembeli: “lihatlah tembakau
kami, coba resapi aromanya. Tembakau ini bakal membikin produksi rokokmu makin
meroket, diminati banyak perokok dunia ini. Kau pasti suka”.
Ucapan
itu membuatmu tersenyum meski pembeli menanggapi geli. Pembeli hanya perlu
sedikit tersenyum untuk menghargai senyum puasmu dan selebihnya banyak menilai
kelemahan-kelemahan kami, tembakaumu yang siap dijual. Ucapanmu juga membuat
kami mengerti akhirnya mengapa kau mencintaiku terlampau besar dan kerja keras
untuk merawatku. Kami benar-benar harapan kesejahteraan keluargamu.
Namun,
tiba-tiba kau malah sunyi. Garis senyum di wajahmu hilang seketika. Kau sempat
bersitegang dengan sang pembeli. Katamu dengan meyakinkan “ini daun emas,
bagaimana mungkin kau patok harga semurah itu?”. Di wajahmu jelas tergurat
marah. Harga yang diberikan pembeli tak sesuai dengan kerja keras dan kualitas
tembakau ini, begitu katamu dengan tegas.
“tembakau-tembakau
musim ini tak sebagus musim lalu”, kau dengar itu dari pembeli, “kalau kau
bersikukuh dengan harga itu, jelas pabrik rokok kami akan memilih yang lain.
Toh, banyak yang mau seharga itu”.
Kau
tampak kesal dengan sikap dan cara pembeli menghargai tembakaumu. Kami lihat
kau masih hendak bersitegang. Tapi ….
“kau
coba tawarkan ke pabrik-pabrik rokok yang lain”, kau lihat bagaimana ekspresi
sang pembeli, sambil menggeleng-gelengkan kepala dia melanjutkan, “tak kan ada
yang mau menerima di atas harga itu”.
Kau
tak bisa berbuat banyak. Kebutuhanmu untuk segera melunasi hutang-hutang selama
masa penanaman, proses panen dan sampai siap jual sekarang lebih mendesak.
Terbayang untuk segera membiayai sekolah anak-anakmu dan keperluan dapur
istrimu. Kini kau berada diantara pertimbangan menjual murah agar segera
peroleh duit atau mempertahankan harga yang menurutmu ideal tapi kau ragu
benarkah harga tembakau sekarang lagi anjlok?
Beberapa
hari lalu kau sempat tersenyum. Kau bilang ada demonstrasi mahasiswa yang
menuntut agar keberadaan nasib petani diperhatikan. Kau juga bilang mereka,
para mahasiswa, mengatakan bahwa masa depan petani terletak pada masa depan
kami. Masa depan kami adalah penentu kesejahteraan para petani. Mereka juga
mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah tentang kami, tembakau, yang lebih
menguntungkan pembeli daripada petani.
Entahlah
seterusnya kritik itu. Yang pasti, akhirnya kau memilih pertimbangan yang
pertama, menjual dengan harga murah demi memperoleh duit segera meskipun tak
cukup menguntungkan bila dihitung dari kerja kerasmu dan pembiayaan lainnya.
Kami
begitu kasihan padamu yang telah merawat dan membesarkan kami. Kalau akhirnya
kau tak memiliki kemerdekaan untuk menentukan harga kami, apalah artinya kau
sebagai pemilik kami. Kau dan kami sudah dipermainkan.
Kalau
saja kami bisa bicara, kami akan memberimu pertimbangan bahwa sesungguhnya
kaulah yang lebih berhak tentukan harga. Kami akan meyakinkanmu bahwa pabrik
atau pemerintah sekalipun tak berhak begitu saja menentukan harga kami. Kalau
saja kami bisa berontak, kami akan berpihak kepadamu. Kami akan melawan
kebijakan-kebijakan pabrik. Kami akan bergabung dengan mahasiswa dalam irama
demonstrasi yang sampai kini masih terus berlanjut menuntut pemerintah.
Sayangnya,
kami hanyalah anak-anak tembakau yang kau rawat dan besarkan sejak bibit hingga
tumbuh besar dan siap dijual. Kami hanyalah anak-anak tembakau yang sepenuhnya
pasrah pada permainan harga pabrik, calo dan pemerintah. Kau, petani, sebagai
pemilik sah, sayangnya tak bisa berbuat banyak. Kau kehilangan kemerdekaanmu,
hai Petani tembakau.
(Cerpen
ini dihaturkan untuk masyarakat Tani Tembakau di tengah permainan para
Tengkulak dan kebijakan pemerintah)
[1] Kata-kata
ini berasal dari puisi Chairil Anwar, Derai-Derai Cemara. Sebagian kata saya
modifikasi untuk keperluan cerpen.