Di
pengujung tahun ini, Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta akan menggelar
Pemilihan Umum Raya (pemira). Namun, mahasiswa yang mendapat hak pilih pada
pemira kali ini hanya dari semester satu hingga tujuh.
Hal
itu, sesuai dengan aturan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), mengenai
mekanisme pemilihan calon ketua dan wakil ketua di lembaga legislatif dan
eksekutif yang menyebutkan, daftar pemilih hanya diperuntukkan bagi mahasiswa
semester satu sampai tujuh.
Aturan
itu pun membuat mahasiswa yang duduk di atas semester tujuh tak mempunyai hak
untuk memilih. Seperti yang dirasakan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Erwin Saputra.
Erwin
berpendapat, tak sepakat dengan poin
AD/ART tersebut. Menurutnya, poin itu sudah menciderai demokrasi dan tidak
mewakili suara hati mahasiswa.
Lebih lagi, ketika
terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, maka dampaknya bukan hanya sebagian
mahasiswa, tapi seluruhnya. “Kalau masih terdaftar sebagai mahasiswa dan dibebani
bayaran semester, tidak ada alasan untuk dibeda-bedakan” ujarnya, Jum’at (28/11).
Hal
serupa diungkapkan Mahasiswa Adab dan Humaniora, Abdallah, “jika pemira kali ini
menjunjung tinggi nilai demokrasi, kenapa nilai itu tidak bisa dirasakan oleh
seluruh mahasiswa?”
Menurut
abda, pemira bukan hanya soal memilih. Lebih dari itu, pemira merupakan bagian
dari pendidikan politik mahasiswa. Seharusnya, pemira bisa dijadikan momentum
untuk belajar dan memahami cara berpolitik secara demokratis, jujur, dan adil.
“Membangun
demokrasi di kampus tanpa melibatkan seluruh mahasiswa merupakan kejanggalan
berdemokrasi,” kata Abda Jum’at (28/11).
Menanggapi
ketiadaan hak memilih bagi mahasiswa di atas semester tujuh, Ketua Senat
Eksekutif Mahasiswa (SEMA) UIN Jakarta, Muhammad Yusuf, memaparkan sebenarnya,
permasalahan hak pilih sudah diputuskan dalam kongres yang dihadiri perwakilan
dari pihak rektorat dan organisasi intra kampus, seperti Himpunan Mahasiswa
Jurusan (HMJ), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM),
dan SEMA.
Hasil
putusan menetapkan, mahasiswa yang mendapatkan hak pilih hanya dari semester
satu sampai tujuh karena merekalah yang terdaftar dan masih aktif dalam kegiatan
akademik kampus. “Selain aktif kuliah, mereka juga memiliki kewajiban untuk
mengambil SKS secara penuh,” ujarnya.
Yusuf
menambahkan, jika hak pilihnya tidak dibatasi, dikhawatirkan akan menimbulkan
kekacauan saat pemira. Karena ia menilai, suara mahasiswa yang duduk di atas
semester tujuh sangat bermuatan politis.
Sebaiknya,
lanjut Yusuf, mahasiswa yang duduk di atas semester tujuh fokus pada perbaikan
mata kuliah atau mengurus skripsi saja. “Tidak perlu memikirkan pemira, karena
semua ini sudah ada yang memikirkan” katanya.
Sementara
itu, Ketua Pemilihan Umum (KPU), Hilman Ahmad Hakim, mengatakan tidak
mengetahui lebih jelas terkait aturan tersebut.
YA