![]() |
www.sadargiz.com
|
Berdiskusi dan membaca dirasa tak lagi menjadi
kebutuhan. Kesadaran akan pentingnya kebutuhan tersebut digalakan berbagai
forum diskusi untuk menjaga nilai intelektual dan akademis mahasiswa. Undangan
untuk mengikuti forum diskusi pun dilakukan, ajakan perseorangan, menyebar
pamflet dan leaflet secara langsung maupun media sosial juga sudah dilakukan,
tetapi hasilnya nihil.
Hal demikian dialami anggota aktif Forum Diskusi
Ciputat (Formaci) Abdallah, menurutnya, forum diskusi dan kajian di UIN
Jakarta terancam punah. “Forum Mahasiswa
Ciputat (Formaci) misalnya, hanya 10 sampai 15 orang saja anggota yang aktif
mengikuti diskusi. Padahal di UIN Jakarta ada sekitar 22.000 mahasiswa aktif,
itu sisanya pada ke mana?” ujar mahasiswa semester 11 Bahasa dan Sastra Arab
Fakultas Adab dan Humaniora, Rabu (1/10).
Pergantian Student Government (SG) ke Senat dirasakan
Abdallah sangat berpengaruh terhadap gairah berdiskusi mahasiswa. Saat masa SG,
kata Abdallah, semarak kajian sangat terasa. Tapi, sistem perkuliahan saat ini
dengan beban SKS yang padat menuntut mahasiswa untuk cepat lulus. “Saya melihat
sistem kampus yang seperti itu berimbas pada forum diskusi” paparnya.
Senada dengan Abdallah, Kordinator forum diskusi
Komoenitas Lesehan Keboedajaan (Kolekan), Azami menjelaskan, sejak pergantian
SG ke senat, Kolekan vakum beregenerasi. “Hampir setengah tahun kita mati suri
atau collapse pada 2010-2011,” jelas
mahasiswa jurusan Sejarah Kebudayaan Islam, Rabu (1/10).
Sedangkan Andi Kristianto, Pembina Lembaga
Kemahasiswaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menjelaskan, forum diskusi mesti
meninjau kembali metode dan pola berdiskusi agar mahasiswa mau bergabung.
Menurutnya, forum diskusi perlu memanfaatkan semua saluran komunikasi saat
megundang mahasiswa untuk berdiskusi. “Harus kreatif saat mengajak orang lain,”
paparnya ketika dihubungi INSTITUT, Rabu malam (1/10).
Inovasi dan perubahan telah dilakukan oleh Kolekan dan
Formaci dalam menarik mahasiswa untuk ikut serta dalam forum diskusi. Azami
mengatakan, Kolekan telah mengubah gaya diskusi yang bersifat ortodoks. Selain
itu, lanjut Azami, menyambangi tempat kajian baru seperti Taman Ismail Marzuki
(TIM) juga menjadi inovasi Kolekan. “Saat mengadakan diskusi, Kolekan juga
mengundang teman-teman Institut Kesenian jakarta (IKJ) agar memantik motivasi
peserta diskusi,”paparnya.
Berbeda dengan Kolekan, untuk mengajak mahasiswa
mengikuti forum diskusi, Formaci menggunakan media sosial dalam menyebarkan
pamflet dan leaflet. Namun, menurut Abdallah, mahasiswa sekarang tidak peduli akan berdiskusi, ketertarikan
mereka terhadap diskusi sangat kurang. “Padahal, diskusi itu kebutuhan dan
harus didasarkan oleh kesadaran, saya sendiri tidak bisa memaksa mahasiswa lain
untuk ikut berdiskusi,” jelasnya.
Pentingnya mengikuti diskusi diakui oleh Andi
Kristianto. Ia memaparkan, berdiskusi dapat melatih kecakapan berkomunikasi
maupun beradu argumentasi dengan orang lain dalam berbagai hal. Sejatinya, ujar Andi, kesadaran dapat muncul dan tumbuh
secara alami dalam diri seseorang. “Kesadaran itu mudah menular, sebagaimana
kemalasan yang juga mudah menjadi wabah yang merusak kita,” ungkapnya.
Abdallah bercerita, rezim represif yang membayangi
pada tahun 80-an membuat mahasiswa lebih kritis dengan membentuk forum-forum
diskusi. Namun, pascareformasi ia mempertanyakan daya kritis mahasiswa.
“Bagaimana bisa kritis kalo mahasiswa sekarang dininabobokan di Seven Eleven
dan Starbucks?” tegas Adballah.
Adi
Nugroho