Kamis 25 September yang lalu, Auditorium Harun Nasution seharian
dipenuhi oleh peserta Seminar Nasional. Seminar yang bertemakan “Islam dan
Politik Indonesia Mendatang” ini dihadiri oleh mayoritas mahasiswa UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan beberapa perguruan tinggi lainnya, serta sejumlah
pimpinan fakultas dan dosen. Arahnya, bagaimana kita membangun kebudayaan yang berkarakter. Asumsinya,
kebudayaan kita ini adalah kebudayaan hybrida, pertemuan, perpaduan dan proses
dialog yang kreatif dari berbagai kebudayaan masyarakat. Hingga saat ini,
proses ini terus berlangsung, tidak berhenti.
Dari sisi keberagamaan, Indonesia tidak saja mendapatkan pengaruh
dari berbagai agama besar seperti Islam, Kristen, Hindu dan Budha. Bahkan, tak
sedikit kita jumpai perpaduan, integrasi atau akomodasi antar nilai-nilai atau
tradisi dari berbagai agama yang ada, bahkan dengan local tradition sekalipun.
Sebagai sebuah kebudayaan besar, tidaklah mudah untuk menjaga, melangsungkan
dan apalagi membangun.
Corak kebudayaan seperti ini menjadi basis penting bagi kehidupan
dan pembentukan tradisi/corak politik kita. Inilah yang menjadi argumen penting
bagi teori politik aliran (political
stream theory). Teori ini menegaskan bahwa arus kebudayaan kita akan besar
sekali mewarnai arus politik. Jika mengacu basis teoritis klasiknya Clifford
Geertz tentang Trikotomi Priyayi (nasionalis), Santri (Islam), dan Abangan
(komunis), sebagaimana diterapkan pada masa Orde Lama, banyak penolakan dari
berbagai kalangan. Akan tetapi, itulah yang juga menjadi keyakinan Soekarno
selaku presiden RI kala itu. Bagaimana dengan aliran kebudayaan dan politik
Indonesia saat ini, tentulah tidak sama.
Demokrasi di Indonesia sangat unik dan khas karena mencakup soal
agama, local wisdom, termasuk tradisi
ketimuran. Meski ide awalnya dari Barat, demokrasi telah mengalami proses
domestikasi yang sangat berarti di negara yang mayoritas muslim. Tentu saja
sebagai proses kultural sekaligus sebagai isu akademik, ini juga tidak gampang
mempertemukan, berdialog antara Islam dengan demokrasi. Perdebatan panjang
telah berlangsung dan melibatkan tidak sedikit tokoh dan pemimpin sosial keagamaan
dan politik serta akademisi.
Mengapa panjang perdebatan ini? Karena, tidak saja menarik secara
akademik akan tetapi juga penting dalam rangka mencari dan menemukan model
Islam dan demokrasi yang applicable untuk
Indonesia. Pertanyaannya tidak lagi boleh (halal) atau tidaknya (haram)
menerapkan demokrasi untuk orang Islam, tidak sekadar menolak demokrasi karena
produk Barat sebagaimana keyakinan atau pandangan kawan-kawan Hizbut Tahrir
Indonesa (HTI).
Islam dan demokrasi, bukanlah kulit akan tetapi substansi dan
esensi. Hajriyanto Y. Thohari, salah seorang pembicara seminar Islam dan
politik tempo hari itu. Mengajukan pertanyaan: “milih yang mana partai de-ngan
simbol-simbol Islam tapi kotor karena korupsi, atau partai apa pun tanpa simbol
Islam tapi memperjuangkan sesuatu yang substansinya tidak bertentangan dengan
ajaran Islam” misalnya kejujuran, keadilan dan sebagainya. Inilah salah satu
persoalan pokok Islam dan politik di Indonesia, memperjuangkan apa dan untuk
apa?
Sebetulnya, banyak yang mengakui sebetulnya bahwa dari sisi
prosedur, demokrasi di Indonesia berjalan dengan sangat baik. Pemilu sebuah
negara berpenduduk muslim terbesar di dunia kemarin menunjukkan bahwa Indonesia
telah sukses melampaui aspek prosedural. Soal puas dan tidak puas, ada tuduhan
kecurangan dan sebagainya, bisa diselesaikan dengan prosedur yang tersedia.
Memang mahal procedural democracy
ini. Tak semua negara bisa selenggarakan pemilu besar dengan aman dan stabil.
Saya kira, ini ada soal awareness,
ada komitmen untuk tetap bersahabat dengan baik meskipun tajam perbedaan
pilihan ideologi politiknya.
Hal lain yang juga penting untuk dicatat dari soal pemilu ini,
ialah soal partai Islam. Ternyata, perolehan suara partai-partai Islam dari
pemilu ke pemilu mengalami penurunan yang sangat signifikan. Pemilih yang
ma-yoritas beragama Islam ternyata sangat sedikit menentukan pilihannya kepada
partai-partai Islam ini. Jadi, tidak ada korelasi antara anutan atau kepercayaan
kepada kebenaran ajaran Islam dengan pilihan kepada partai Islam. Kalaupun ada,
jumlahnya sedikit.
Apa yang dikatakan almarhum Cak Nur soal ‘Islam Yes, Partai Islam
No’ benar-benar nampak dengan kasat mata. Partai-partai Islam semakin
kehilangan trust. Pasti ada yang salah dari partai-partai Islam ini. Kasus yang
sangat mencolok tentu saja, antara lain; (1) keterlibatan aktivis dan tokoh
penting partai Islam dalam kasus korupsi. Kasus ini tidak saja memperpuruk
partai, akan tetapi juga menampar dan membuat malu orang Islam. (2) Tidak
seriusnya partai Islam untuk memperjuangkan sesuatu untuk kemaslahatan
masyarakat.
Partai-partai Islam telah gagal memanfaatkan demokrasi sebaik-baiknya
secara prosedural untuk memenangkan pemilu. Tentu saja ini tidak sekadar
mencederai partai, akan tetapi juga syariat Islam bahkan Islam itu sendiri.
Atas nama kesucian agama dan syariat, ternyata syahwat kekuasaan dan ekonomi
yang dicari.
Uraian di atas tentu peran civil
society menjadi sangat penting dan strategis. Civil society ini adalah kekuatan orang-orang secara personal
maupun kelompok yang sadar sesadar-sadarnya bahwa pemerintahan itu dibentuk
untuk melayani masyarakat, mengayomi masyarakat, menciptakan keadilan,
ketenangan, keamanan dan ketertiban. Pemerintah harus menjadi teladan yang
mengarahkan masyarakat kepada tujuan moral yang luhur. Kekuatan civil society
itu banyak, ada pers, kalangan profesional, akademisi, ulama, lembaga
pendidikan, ormas, dan juga partai. Mereka harus kerja sama untuk memperkuat
posisi dan peran-peran mulianya agar tidak terjadi penyelewengan.
*Penulis adalah Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan
UIN Jakarta